Sambungan dari Part 21
22
MARTABAK PELANGI
Sorak-sorai penonton membahana dari dalam stadion. Bergemuruh, menggetarkan bangunan besar yang menampung puluhan ribu manusia penggemar bola sepak. Pantas meriah sekali, rupanya ada dua kesebelasan lokal papan atas yang sedang menuntaskan perjuangan, berlaga di partai puncak guna menentukan sang pemenang kompetisi. Pertandingan pamungkas yang digelar di kuil olahraga megah ini menjadi tontonan yang sangat dinanti oleh para suporter kedua tim. Final kali ini benar-benar menjadi ajang adu gengsi dari dua klub besar yang sama-sama memiliki banyak fans.Tanya punya tanya, kick off dilakukan tak lebih dari 5 menit lalu. Walau sudah mulai, tentu aku tak khawatir dengan pertandingan panas dan mendebarkan malam ini. Pasalnya, bukan klub sepak bola dari Tatar Sunda yang sedang bertanding. Kalau saja Persib, klub favoritku, yang ada di dalam, tentu aku akan berusaha dan memaksakan diri untuk mencari tiket masuknya. Tak peduli tiket itu harus kudapatkan dari calo dengan harga selangit sekalipun, aku akan rela demi menonton langsung aksi Pangeran Biru yang bukan saja menjadi kebanggaan Kota Bandung, melainkan juga kesayangan masyarakat Jawa Barat.
Calo bukan hanya ada di Indonesia. Itulah yang kusaksikan dan kualami saat ini. Mereka juga tak kalah kejam. Beberapa saat lalu, aku ditawari tiket dengan harga yang tak masuk akal. Tentu saja aku menolaknya. Bukan semata karena harganya yang kelewatan dan kebangetan, aku memang tak berniat menonton pertandingan. Aku hanya tak sengaja melewati stadion untuk melihat-lihat keramaian di sekitarnya.
Soal calo, di mana pun pasti banyak orang yang tak menyukainya. Namun, tidak bagi mereka yang tergila-gila pada klub idolanya. Berapa pun harga yang dibanderol, tiket di tangan para calo tetap bisa ludes terjual. Inilah sepak bola, hiburan rakyat dengan sejuta pesona. Sepak bola membius para fans fanatiknya dan menyuguhkan tontonan pelepas lelah bagi siapa pun. Seru dilihat, geregetan saat menikmati jalannya pertandingan. Begitulah sepak bola yang dengan pesonanya bisa membuat emosi teraduk-aduk sepanjang 2x45 menit.
Lagi-lagi seorang calo menghampiriku, berusaha menjajakan tiket pertandingan malam ini. Risih, aku coba menjauh. Kutuntun sepedaku mengelilingi stadion guna menghindari mereka. Ternyata bukan calo saja yang beredar di sekitar stadion. Penjual makanan juga tak kalah banyak. Mereka menggelar lapak di sepanjang pelataran, berharap agar dagangannya laku. Mulai dari jualan merchandise klub, aksesoris suporter, hingga makanan serta minuman ringan dijajakan para pedagang itu. Bagi mereka, pertandingan sepak bola adalah berkah.
Melihat deretan lapak dan gerobak kuliner, selera makanku tergugah. Perutku keroncongan walaupun jenis makanan yang dijajakan tak semewah sajian di restoran atau rumah makan mentereng. Dari sekian banyak pedagang yang mangkal, aku memilih merapat ke pedagang makanan yang sering aku temui di Serang. Ya, di sana ada juga martabak manis. Makanan berbahan dasar tepung dan telur itu telah memincutku. Bentuknya mini, seperti dua apem selong ditumpuk yang pernah menjadi oleh-oleh bibiku dari Surabaya ketika aku kecil.
Ada berbagai macam rasa yang ditawarkan, penuh warna. Mulai dari pisang, cokelat, kismis, durian, dan keju. Makanya si penjual menamakan makanan yang dijajakannya itu martabak pelangi. Nama itu terpampang di stiker yang menempel di depan gerobaknya. Meski mini, kulihat porsi martabak itu masih cukuplah untuk sekadar mengganjal perut malam ini. Harganya pun sepertinya bersahabat.
“Berapa harganya?” tanyaku kepada sang penjaja makanan berambut klimis dan berkumis tipis. “80 sen, silakan,” jawab si penjual sambil merapikan barang dagangannya yang terlindung di dalam kotak kaca. Ia pun mempersilakan aku untuk mencoba mencicipi dagangannya itu. Pria yang terlihat gesit ini memang sangat bersahabat. Tanpa malu-malu, dengan cekatan, aku mencomot satu, rasa keju. Nyam, enak sekali. Bukan karena lapar, tapi rasa makanan ini memang menggugah selera. Nikmatnya sudah terasa saat gigitan pertama.
“Sepi sekali?” Kucoba berbasa-basi sambil mengunyah martabak yang separuhnya masih aku pegang.
“Awak nih gimana… Semua orang sedang menonton bola,” ujar si penjual martabak. Wajahnya sedikit merengut. Memang betul apa yang dikatakannya, tapi rengutannya sekarang beda. Bukan rengutan yang disebabkan oleh pertanyaanku tadi. Aku perhatikan dan menebak, bisa jadi ia tak bersemangat karena makanan yang dijajakannya ini belum laris seperti yang diharapkan. Aku lihat sendiri, tumpukan martabak yang ada di dalam kotak kaca itu terus meninggi.
“Oh, iya.... Betul,” kataku sambil tersenyum. Aku pun berbasa-basi lagi. “Masih banyak makanannya?” Mudah-mudahan pertanyaanku kali ini tak membuat si penjaja merengut seperti tadi.