Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 4

Alvin Bahar - Rabu, 12 Oktober 2016 | 07:00
Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 4
Alvin Bahar

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 4

Sambungan dari Part 3

4

MISI TERPENDAM

Kaki kanan pak Marpaung ditekuk di atas kursi. Satunya lagi lurus ke depan, diletakan di atas meja kayu tak bertaplak. Gayanya seperti big bos dalam film gengster. Kedua tangannya membentangkan koran harian pagi. Menutupi wajahnya yang terkesan serius melahap berita terkini. Sementara asap putih mengepul dari batang batang rokok menyala yang masih terjepit di sisi asbak plastik. Dengan sedikit berhati-hati aku mendekati pria bertubuh kekar yang sedang bersantai di kursi halaman depan rumahnya.

Padahal aku sudah beberapakali bertemu dengan pak Marpaung. Tapi, hatiku tetap saja selalu ciut kala ingin memulai pembicaraan. Dan, kali ini aku harus berhadapan langsung dengannya. Dengan rasa terpaksa, aku memberanikan diri untuk bertegur sapa.

“ Permisi ”, sapaku dengan lembut. Sengaja ucapannya aku pelankan. Aku takut kalau bapak yang ada di balik koran itu terkejut dan marah. Aku tunggu beberapa saat, namun yang ditunggu tak ada respon dari si empunya rumah. Hanya suara lembar demi lembar kertas yang dipindahkan oleh kedua telapak tangannya. Mungkin aku terlalu rendah volume suara saat menyapanya. Ada niatan untuk memutar volumenya agar sapaanku bisa ditanggapi.

“ Selamat pagi !” telinganya tebal sekali dan tetap saja tak bergeming. Padahal aku sudah meninggikan ucapan dibandingkan dari salam pertamaku tadi. Aku tunggu lagi lebih lama, jawaban yang diharapkan kosong. Tetap tak menyahut. Kali ini mungkin aku harus memberi salam dengan lebih dan lebih keras lagi. Agar yang disapa tahu bahwa ada tamu yang sedang berkunjung ke kediamannya.

“ Permisi, selamat pagi pak Marpaung..! ” Suaraku menghentak keras sekali, Pak Marpaung kaget sejadinya. Koran pagi yang sedang dibacanya itu tiba-tiba dilipat, secepat kilat. Aku pun sama terkejut, tapi aku berusaha tetap melemparkan senyum terbaik buatnya. Namun gagal, senyumku tak berbalas sama. Yang aku lihat malah tatapan bapak ini yang terlihat sangat sangar. Wajah kerasnya seolah-olah ingin melahap pandangan mataku.

“Aih...Fauna. Ada apa kau kemari ? “ logat bataknya mengental. Walau terkesan membentak sebenarnya ayah sahabatku ini sangat baik.

“ Mau mengajak Solomon pergi ke Pantai Anyer, pak ” sahutku. Kedua tanganku mengelus-ngelus di depan pinggang. Tanda canggung dan takut. Betapa tidak, logatnya seperti menantang.

“ Oh...sebentar, Solomoooon...!! Solomoooon.. !! Solomooon !! ” Ini lebih dahsyat lagi. Suaranya menggelar ke seantero kampung. Bak geledek disiang bolong. Pak Marpaung memanggil anak sematang wayangnya yang ada di dalam rumah. Ingin rasanya kedua jari telunjukku menutupi lubang telinga. Tapi tak kuasa, takut menyinggung orang yang sedang lepas berteriak keras ini. Ini bukan hutan, tapi di desa dengan kehidupan bertetangga. Mungkin sudah terbiasa, tetangga-tetangga terdekatnya juga taka ada yang komplain dengan gemuruh suara pak Marpaung.

Bak robot yang ditekan tombolnya, Solomon bergerak cepat sekali keluar dari dalam rumah bercat putih yang warnanya kusam itu. Mustahil kalau panggilan dari bapaknya tak terdengar.

“ Ada apa bapak ?” tanya Solomon tergopoh-gopoh.

“Itu teman kau, si Fauna,” bibir pak Marpaung maju. Tidak bermaksud mencibir, tapi mulutnya sengaja dimoncongkan untuk menunjuk ke arahku.

Pria yang berprofesi sebagai Polisi Militer itu meneruskan bacaannya. Tak tampak dari bahasa tubuhnya yang bersahabat. Mungkin dia terasik masyuk dengan laporan utama dalam koran yang sedang diremasnya.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest