Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 22

Alvin Bahar - Rabu, 15 Februari 2017 | 11:00
Ilustrasi: Gio
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

***

llustrasi: Gio
Tempo sorak-sorai penonton di dalam stadion mulai menurun, tak lagi seriuh pada awal laga. Kini yang terdengar hanya lantunan yel-yel. Itu pun sayup-sayup saja. Yel-yel dengan nada lagu-lagu yang populer memang bak lagu wajib bagi para fans klub sepak bola. Tak di sini, tak di Eropa, sama saja. Itulah cara mereka menunjukkan eksistensi di stadion dan memompa semangat para pemain yang membela klub pujaan mereka.

Rupanya babak pertama pertandingan final itu sudah berakhir. Sesuai peraturan FIFA, setelah babak pertama berakhir, para pemain mendapatkan masa rehat. Durasinya paling lama 15 menit, kecuali ada insiden yang membuat wasit harus memperpanjang masa rehat tersebut. Dalam keseharian, kita mengenal masa rehat ini dengan istilah turun minum. Turun minum bukan hanya berguna untuk memulihkan kebugaran dengan setidaknya menenggak air minum, melainkan juga untuk mengatur taktik dan strategi saat melakoni babak kedua nanti. Adapun bagi penonton, 15 menit turun minum adalah saat untuk menurunkan ketegangan, mengendurkan urat-urat syaraf.

“Mas Andi, bagaimana kalau saya bantu jualan martabaknya?” Tiba-tiba saja naluri bisnisku keluar. Siapa tahu yang ditawari bantuan menyambut dengan gembira.

“Ini kan saya sedang berjualan. Kamu tidak lihat memang?” ucap Andi seraya membolak-balikkan martabak dengan kayu bergagang yang ujungnya pipih.

“Maksud saya, saya bantu jualan di dalam stadion,” jelasku.

“Boleh saja, tapi bagaimana mungkin? Gerobak ini tidak diperbolehkan masuk,” ujar Andi yang selera humornya mulai keluar.

“Bukan itu maksudnya,” senyumku merespons dagelannya, dan Andi pun memahami apa yang aku maksud.

“Bisa saja,” ungkapnya. Tentu yang aku tawarkan dapat membuat ringan si penjual martabak.

“Wah, sip Mas Andi,” jempol jari kanan aku angkat. Menandakan bahwa hal yang sedang kami bicarakan benar-benar mantap untuk dijalankan. Kesepakatan mulai dibicarakan seperti saat aku berbisnis jualan es mambo sewaktu sekolah dasar dulu.

“Bagus.” Andi membalas jempolku. Bedanya dia memberikan dua jempol.

“Tapi, ada syaratnya…” Aku coba memberanikan diri untuk bernegoisasi. Anak pramuka yang satu ini memang benar-benar tak mau rugi. Ya, supaya sama-sama enak dan diuntungkan.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest