Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 3

Alvin Bahar - Rabu, 05 Oktober 2016 | 03:30
Solomon
Alvin Bahar

Solomon

Sambungan dari Part 2

3

SOLOMON

Dua buku yang aku pinjam dari guru sejarah, pak Zaini Somad masih tergeletak di ujung kasur yang belum tertata rapih. Satu buku sudah rampung kubaca semalam sebelum tidur. Mengisahkan captain James Cook saat melakukan penjelajahannya ke Pasifik Selatan pada tahun 1771 dan menemukan benua Australia. Catatan-catatan yang mengabadikan sepak terjang petualangannya itu sangat seru diikuti. Beliau adalah seorang pria hebat yang membuatku terobsesi untuk melakukan hal yang sama. Ambisi dari cerita-ceritanya melegenda dan inspiratif. Dalam khayal, aku berimajinasi untuk beberapa tahun mendatang ingin singgah ke negeri kangguru. Seperti yang dilakukan oleh sang pengarung samudera James Cook.

Buku yang kedua adalah biografi Christopher Columbus. Tak terlalu tebal, karena di dalamnya hanya mengisahkan secara umum sang pelayar ulung. Baru dua pertiga dari seluruh halaman kubaca. Walau baru lebih dari separuh tapi aku sudah mendapatkan kesimpulan kisah petualangannya. Ya, tema buku ini memiliki kisah heroik dan mendidik. Tokoh besar dalam dunia pelayaran itu telah menemukan benua Amerika.

Karena belum selesai dibaca, tadinya ingin aku tuntaskan buku bersampul plastik bening itu pada pagi ini. Namun terpaksa harus diurungkan lain waktu saja. Karena hari ini, aku sudah terlanjur berjanji dengan sahabat dekatku untuk pergi ke Anyer.

“ Pak Zaini baik sekali, meminjamkan buku-buku favoritnya kepadaku,” gumamku sambil memegang dua buku itu sambil menghadap ke cermin. Dia adalah guru sejarah yang jarang tersenyum. Buatku senyum Pak Zaini sangat mahal. Langka sekali melihat beliau menunjukan wajah yang sanggup menentramkanku. Malah sebaliknya, setiap berhadapan dengannya aku sering dicecer oleh pertanyaan-pertanyaan dari beliau. Untungnya aku hobi membaca buku sejarah. Jadi semua yang ditanyakan oleh Pak Zaini selalu bisa aku jawab dengan memuaskan. Bukannya menyudahi dengan bertanya kepada yang lain, semakin banyak yang aku jawab maka semakin banyak pula pertanyaan lanjutan yang keluar. Pak Zaini ini punya misi ingin selalu menskak mati. Atau mungkin bisa jadi juga ini adalah bagian pembelajaran yang diberikannya. Yang pasti hobi beliau selalu bertanya dan mengujiku.

Aku letakan buku-buku itu dengan hati-hati di atas meja bulat. Kemudian kurapihkan tempat tidur yang telah mengantarkan mimpi baik tadi malam. Setelah keadaan kamar sudah dipastikan bersih baru aku bersiap menuju ke meja makan. Sekarang aku yakin sudah tidak panas lagi tempe yang sebelumnya aku lahap dengan terburu-buru seperti tadi sehabis mandi.

Kutarik pundak kursi kayu yang merapat pada salah satu sisi meja. Aku duduk dengan perlahan. Pandanganku menyebar kepada semua hidangan yang ada dihadapanku. Memilah-milah mana yang akan aku santap terlebih dahulu. Walau sarapan sudah tersedia, tapi rasanya kurang lengkap jika tak ada yang menemani. Dan, sayangnya sekarang sepi sekali rumah ini. Setelah menyediakan makanan, ibu sibuk dengan kegiatan keseharian lainnya seperti membersihkan pekarangan, mencuci dan lainnya. Tak ada yang bersamaku untuk sarapan pagi bersama. Mpa pergi tadi sejak tadi subuh. Kakak-kakakku: Koko Sukma Negara, Laksmi Sukma Wati, Nikita Sukma Kelana, Evi Asfiah Sukma Dewi dan Indra Sukma Prayoga sudah tidak tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Mereka sudah berkeluarga dan memilih untuk tidak menumpang dengan ayah, ibu atau mertuanya. Padahal baru kemarin kakak-kakaku berkumpul di rumah sederhana ini. Sementara adikku Gemi Sukma Nevi masih meringkuk di kamarnya. Gemi memang anak yang paling sulit tidur lebih awal. Makanya setiap tidur larut esoknya sudah dipastikan susah bangun pagi.

***

“ Kamu makannya yang betul.! Jangan sambil melihat-lihat peta”, Ibu mengingatkanku dengan yang sedang aku lakukan. Aku kebetulan sedang menggenggamnya dan melebarkan gulungan peta itu di atas meja makan.

“ Oh iya bu, tidak apa-apa, aku bisa melakukannya sambil makan,” senyumanku mencoba untuk meredakan ketidaknyamanan ibu karena melihatku. Peta tetap aku bentangkan, piring tetap aku penuhi dengan nasi uduk kreasi ibu tercinta. Sambal yang pedas, mentimun yang menggugah selera dan potongan telur dadar yang melengkapi teman sarapan pagi ini.

“ Ya sudah, nanti piringnya dicuci sendiri ! ” perintahnya. Dalam hati, memang biasanya demikian. Sejak kecil, anak-anak ibu dididik untuk bersikap tanggung jawab. Semua anaknya yang makan di rumah ini sudah terbiasa mencuci piring sendiri. Aktifitas itu menjadi bentuk pengabdian kepada orang tua. Padahal ibu juga tak pernah mewajibkan anak-anaknya melakukan hal demikian. Jadi kesadaran mereka saja yang mengkondisikan budaya selalu cuci piring masing-masing sehabis makan.

“ Baik bu...siap, “ kali ini aku tidak merapatkan keempat jariku di dahi. Karena konsentrasiku sudah berfokus pada peta dan nasi uduk. Pagi ini, aku melihat peta bukan tanpa sebab. Ya, dari semua mata pelajaran di sekolah, Geografi yang paling aku sukai. Jadi, aku memang sering iseng menengok gambar-gambar suatu wilayah dalam skala mini. Hal itu aku lakukan dimanapun aku berada. Aku juga sering memutar-mutar globe yang ada di ruang perpustakaan sekolah, membuka-buka buku peta buta dan menghapal setiap nama-nama kota atau daerah yang ada di setiap provinsi Indonesia dan negara luar. Mendalaminya lebih jauh menjadi sesuatu yang baru dan mengasyikan. Kali ini, yang aku sedang buka adalah peta Banten. Aku pandang dan teliti satu demi satu titik-titik perjalanan menuju ke Anyer nanti.

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Hot Topic

Tag Popular

x