Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 2

Alvin Bahar - Kamis, 29 September 2016 | 12:30
Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 2
Alvin Bahar

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 2

Sambungan dari Part 1

2

TEMBOK RAHASIA

Aku terperanjat dari kasur empuk berisi kapas. Peluit suara kereta yang melengking tadi telah membangunkanku dari mimpi. Maklum, di rumah tidak ada jam yang menggantung pada dinding kamar. Apalagi jam weker yang dilengkapi dengan bunyi lonceng kalau disetel. Jadi, satu-satunya pengingatku untuk segera beranjak dari lelap hanya pluit yang bersumber dari corong kereta uap yang singgah di Stasiun Kereta Serang dekat rumah. Itu adalah suara penanda bahwa waktu sudah menunjukan pukul 6 pagi. Artinya, Aku mesti bersiap untuk mandi, sarapan dan segera berkemas pergi ke sekolah.

Namun, seringnya kereta datang terlambat. Semenjak aku masuk ke Sekolah Menengat Atas, bunyi pluitnya tak lagi bersahabat. Ular berkarat panjang itu datang ke stasiun kereta semaunya sendiri. Mentang-mentang punya jalur pribadi, dia tiba dan pergi seenaknya. Jadwal pemberangkatan dan kedatangan sering dilanggar tanpa permohonan maaf. Kalau sudah seperti ini semuanya menjadi dirugikan. Bukan hanya para penumpang yang sedang duduk menunggu di kursi penantian saja yang marah. Aku juga sering kali dibuatnya kesal. Pasalnya, kalau kereta tak tepat waktu tiba, mau tak mau aku harus tegar dimarahi guru di sekolah karena datang terlambat. Tapi itu sudah hal biasa. Siap-siap saja menerima hukuman berdiri ditengah lapangan, hormat kepada sang saka merah putih seharian atau diminta membersihkan WC yang bau pesingnya bukan kepalang. Intinya, keterlambatan kedatangan kereta besi adalah duka buatku.

Sambil mengucek-ngucek mata, aku setengah berlari menjauhi tempat tidur. Kemudian menyingkirkan kain penutup pintu kamar dan menghela nafas panjang. Kelagapan, karena aku yakin ini bakal hari yang tak indah. Aku akan telat lagi sampai di sekolah. Baru saja keluar dari kamar, di hadapan sudah ada ibu yang sedang menyiapkan sarapan.

“ Fauna, kamu kenapa? “ Tanya ibuku sambil kedua tangannya memegang piring. “ Mmmm…. ,” belum sempat aku menjawab ibu sudah bertanya lagi. “ Mengapa tergesa-gesa? “ ibu merasa heran. Aku memang tidak nyaman kalau hari pagi ini akan meninggalkanku dalam sekejap. “ Sepertinya kereta datang telat, bu, ” curigaku. Karena memang sudah seminggu berturut-turut lokomotif dan teman gerbong-gerbongnya itu memberi kabar tak pernah tepat waktu. Mereka seolah kompak mengerjaiku agar terlambat terus. Atau mungkin mereka sedang memperingatkanku supaya tak pernah memiliki ketergantungan waktu dengannya. Bahwa bangun tidur itu mesti displin dan terjadwal tanpa harus diperingatkan. “Oh...., bukannya kamu libur?” wanita tujuh anak itu mengingatkan. Aku berusaha membayangkan tanggalan kalender. Rasa-rasanya benar kata ibu. Bukankah mulai hari ini sekolah tutup untuk sementara waktu.

“Arggghh...!! Iya ya bu, aku hampir lupa, “ kedua telapak tanganku meremas wajah yang bentuknya belum sempurna. Masih muka kasur. Meringis campur senang. Ya, minggu ini ternyata memang sudah masuk liburan sebelum menghadapi ujian kelulusan. Tentu rasa gembira itu tiba, keriaan mendadak singgah tak terbendung. Aku peluk Ibu yang sedang masih memegang piring. Genggamnya cukup erat. Sampai-sampai dia kesal karena makanan buat sarapan keluarga yang baru saja dimasaknya hampir terbalik.

“Cepat cuci muka dulu, terus sarapan,” titah ibu sambil merapihkan hidangan di meja makan. Rajinnya ibuku ini, pengabdiannya kepada keluarga sudah tak ternilai lagi.

“Siap…!.” empat jari tangan merapat, jempolku melipat sambil dilekatkan di pelipis kanan.

Ma’azah Sumadirja namanya. Ibuku adalah orang yang sangat tangguh. Berprofesi sebagai relawan perawat ulet. Dalam perjalanan tugasnya, ia sudah banyak membantu orang . Tak terhitung warga yang terkena wabah cacar beliau tolong. Sosoknya agak gemuk, berkulit putih dan tinggi. Namun perawakannya tidak lebih tinggi dari ayahku. Sebagai anak ke-6 aku sangat bangga punya ibu kandung yang cukup sabar. Pendiam namun sangat sayang dan perhatian kepada semua anaknya. Ibuku punya peran ganda. Pengasuh yang baik dan pelipur lara dikala anak-anaknya mengalami duka.

Aku basuh mukaku yang masih kusut dengan air jernih dari sumur. Berkali-kali. Hingga bersih dan terasa menyegarkan. Setelah itu baru mengguyur seluruh tubuhku dengan menggunakan gayung dari batok kelapa. Sambil bersenandung, aku melumuri badan dengan busa-busa yang berasal dari sisa-sisa gabungan beberapa sabun batang kecil. Kala kalimat lagu yang disenandungkan tak hafal, maka siulan bernada sumbang pun dibunyikan. Tak peduli siapa yang mendengar akan menutup telinganya. Yang penting hari ini aku bergembira karena tak masuk sekolah untuk beberapa hari ke depan.

Dinginnya air yang masih menusuk ke dalam tubuhku ini membuat badanku menggigil. Di dalam kamar mandi, dalam keadaan kedinginan aku teringat dengan impian tadi malam. Masih melekat dari memoriku. Tak akan pernah lupa.

Ah, andai saja peristiwa beberapa waktu lalu menjadi nyata. Aku bisa berkelana ke tempat-tempat indah yang dibentuk oleh bintang-bintang semalam. Pasti akan mengasyikan. Akan menjadi pengalaman yang sangat luar biasa. Dan, tiba-tiba saja, sisi lain lamunanku mengatakan berbeda. Seolah memuntahkan segala yang ada. Tidak mungkin sepertinya. Mana bisa seorang Fauna Sukma Prayoga yang berasal dari keluarga serba kekurangan dapat mewujudkan citanya. Terkabulkan menikmati tempat-tempat eksotis itu. Sungguh mustahil. Harapan itu kemudian sirna, dibasuh oleh guyuran air sumur yang menghapus keinginanku.

“Fauna, ayo cepat sarapan dulu ! ” Suara Ibu membuyarkan lamunan. Nampaknya beliau merasa aktifitasku sangat lama di belakang.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest