“Saya sedih melihatnya. Apa yang sudah dibangun bertahun-tahun tiba-tiba hancur begitu saja. Semua warga jadi resah,” ucap prihatin Ibu Karlina.
Beginikah wajah bangsa Indonesia yang katanya Pancasilais dan ramah tamah itu? Produk kemurkaan masyarakat yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan pengadilan sejarah. Terutama di hadapan generasi penerus bangsa yang bakal paling menderita menjalani krisis yang seperti tanpa ujung ini.
Baca Juga: Rilis Lagu 'I Don’t Mind' Dengan Dua Versi, Rahmania Astrini Ingin Tunjukkan Dua Sisi Diri
BUDAYA SURAM
Sudah banyak diulas tentang dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian bangsa. Harga-harga naik, daya beli masyarakat turun, dan rupiah yang makin mengkuatirkan nilai tukarnya terhadap mata uang asing. Dunia perbankan sekarat, pengusaha menjertit, sektor usaha benar-benar mati.
Tapi apakah ada yang pernah berpikir dampak badai ini terhadap remaja? Kelompok usia yang notabene bakal mewarisi kehancuran Indonesia akibat salah urus para pendahulunya. Mereka harus menanggung dosa sejarah yang harus dipikul di masa depan.
Kondisi ekonomi jelas menjadi sector yang paling krusial. Generasi muda sekarang – sering disebut sebagai prduk jaman instan – sudah kadung dijejali prinsip serba cepat, praktis, aplikatif. Semua hal dibuat instan. Sebisa mungkin dilakukan pemotongan terhadap proses mencapai sesuatu.
Setelah sekian lama menikmati mas kejayaan ekonomi yang semuanya bisa didapat dengan mudah, sekarang para remaja dipaksa prihatin. Barang-barang di sekitarnya yang dulu masih terjangkau, pelan-pelan merangkak naik.
Kalau dulu dengan modal 10 ribu perak bisa nongkrong plus makan kenyang di McDonald, sekarang paling-paling hanya bisa buat beli bensin. Jika dulu dengan jumlah uang sama bisa ngajak pacar jalan-jalan dan nonton film di Plasa Senayan, kini hanya cukup buat biaya transportasi dari rumah ke rumah si doi.
Pendeknya, remaja tak lagi bisa cuek bei-beh seperti dulu lagi. Bukan jamannya lagi merasa bukan bagian dari masyarakat karena apapun yang terjadi remaja bakal terselamatkan dari krisis. Remaja bukan lagi anak emas pembangunan
“Itu salah orang dewasanya saja yang menganggap kaum remaja itu apatis, tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Akhirnya hal itu benar-benar terjadi,” tegas Wimar Witoelar, pembawa acara Selayang Pandang di Indosiar.
Hal itu terlihat jelas dalam kerusuhan yang melanda Jakarta usai peristiwa Selasa Berdarah di Universitas Trisakti. Mereka tanpa pikir panjang mau saja diajak menjarah barang yang bukan haknya. Bahkan dengan arogan saling membanggakan hasil kejahatannya. Kepada sesame teman, bahkan kepada orang tuanya.