(Arsip HAI edisi 20 terbit 26 Mei 1998)
Duka Ibu Pertiwi
Kulihat Ibu Pertiwi…
Sedang Bersusah Hati…
Adakah yang lebih tulus dari cinta ibu kepada anaknya? Ia selimuti sang bayi dengan kasih. Ia sujudkan doa agar nafas kehidupan terus menghembus dalam sanubari anaknya. Ia dendangkan kidung cita-cita agar anaknya kelak ikut mengukir masa depan di tanah dan dada bangsa. Ia antarkan sang anak kepada dunia.
Tapi dunia tak selamanya bersahabat. Ia tak selalu bisa melindungi anaknya. Sang Anak harus dilepas sendirian memerangi kerasnya dunia. Demi kekuasaan, anak-anak direnggut, dibungkam, dianiaya, dilukai, dan diabaikan keberadaannya sebagai manusia.
Ibu Pertiwi terisak. Atas nama keamanan dan ketertiban, buah hatinya direnggut aroganisme penguasa. Hery Hartanto, Elang Mulya Lesmana, Hendriawan, Hafidhin Royan menemui ajal diterjang pelor aparat dengan alas an “salah prosedur”.
Ironisnya, peristiwa berdarah di Universitas Trisakti, 12 Mei 1998 itu dalam konteks memperjuangkan reformasi. Sikap peduli tulang punggung bangsa yang sudah jenuh melihat kebobrokan di sekitarnya. Saat mereka berteriak lantang penuh semangat menyuarakan perubahan, timah panas itu datang menghujam.
“Itu merupakan kehancuran untuk kemanusiaan. Mereka itu mencerminkan apa yang disuarakan masyarakat karena mereka juga bagian dari masyarakat. Mahasiswa yang berjuang untuk bangsa, di dalam kampus sendiri kok malah ditembaki…” rintih Dr. Karlina Leksono, aktivis kelompok Suara Ibu Peduli.
Pendapat senada keluar dari Dr. Paulus Wirutomo, sosisolog dari Universitas Indonesia, “Itu cerminan pemerintah kurang menghormati hak berpendapat dan hak hidup rakyat. Mahasiswa tak pernah bermaksud bikin kerusuhan kalau itu yang dikuatirkan. Sebagai intelektual muda, mereka hanya ingin pendapat, saran, dan suaranya didengar, ditanggapi, dan direalisasi.”
Esoknya, rakyat marah. Sikap emosional yang menimbulkan situasi mencekam di ibukota. Toko-toko rusak dijarah massa, mobil-mobil mewah dan motor yang diparkir digulingkan dan dibakar, golongan tertentu yang dianggap anti reformasi menjadi sasaran amukan: digelandang dari dalam rumah atau mobil, dipukuli, serta dibiarkan terkapar di pinggir jalan.
Ratusan jiwa melayang sia-sia, ratusan lainnya luka-luka, dan tak terhitung yang dilanda trauma psikologis berkepanjangan akibat amuk massa itu. Jangan tanya berapa kerugian materialnya. Nyaris semua pilar-pilar kejayaan Orde Baru yang dibangun dengan susah payah, hancur dalam semalam!