Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 21

Alvin Bahar - Rabu, 08 Februari 2017 | 12:00
Ilustrasi: Gio
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

Aku berdiri di sisi jembatan jalan. Mataku menatap Selat Johor. Perlahan kubuka lembaran kertas yang diberikan Bupati Serang. Selama ini, surat itu masih tersimpan rapi. Setelah melihat sebentar, kulipat kembali surat itu dan kuselipkan di antara berkas-berkas lainnya. Surat-surat penting ini kelak akan menjadi kenangan indah dan catatan sejarah perjalananku berkeliling dunia.

Saat melintas dari negara satu ke negara lain, alhamdulillah, aku tak pernah mengalami hambatan berarti. Paling hanya masalah-masalah kecil dan bisa segera kuatasi. Itu karena aku memiliki semua dokumen yang diperlukan. Tak sia-sia persiapan matang yang kulakukan selama di Serang sebelum memulai kayuhan pertama. Persiapan matang, dalam hal apa pun, memang sangat dibutuhkan. Apalagi untuk sesuatu yang sangat besar seperti petualanganku ini.

Bahkan ketika ditanya oleh petugas imigrasi soal uang yang aku punya, kerap kali sang petugas terbelalak. Mereka tak menyangka ada seorang pengendara sepeda yang memiliki uang 5 ribu dollar. Tak sebanding dengan penampilanku yang terlihat biasa saja.

Sebuah pengalaman menarik kudapatkan saat masuk ke Malaysia. Petugas heran dan menanyakan pekerjaan orangtuaku. Dengan enteng, kujawab saja bahwa ayahku bekerja di real estate. Itu agar mereka bisa maklum dan tak curiga terhadap uang yang kubawa. Padahal, Mpa hanya punya kegiatan sampingan sebagai perantara. Ya, kalau ada orang yang mau mencari kontrakan rumah, Mpa berperan sebagai penghubung.

Para petugas imigrasi itu percaya saja pada ceritaku, sementara aku tertawa dalam hati. Berkat uang 5 ribu dollar itu pula, aku tak kesulitan melintas batas. Ibaratnya, itu adalah senjata pamungkas dalam menghadapi para petugas imigrasi yang tanpa kompromi.

Di samping sebagai emergency cost, uang itu memang berperan sebagai jaminan untuk memasuki negara lain. Salah besar bila ada pengeliling dunia tanpa modal apa-apa. Tanpa uang jaminan, seseorang akan ditolak masuk ke sebuah negara. Dia akan dipulangkan dan itu berarti misinya gagal total. Uang dalam jumlah tertentu memang diperlukan untuk menjamin seseorang tak akan sengsara di negara orang yang tentunya akan merepotkan banyak pihak, terutama pemerintah setempat.

Di Malaysia, aku sejak awal berencana tinggal cukup lama. Selain serumpun, aku juga ingin menunaikan ibadah puasa Ramadan yang akan dimulai beberapa minggu lagi. Mungkin juga aku akan berlebaran di sini.

Agendaku bakal banyak. Walau demikian, rencana bisa saja berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang kuhadapi. Kali ini, kedatanganku sudah ditunggu oleh ibu-ibu pejabat kedutaan. Dalam korespondensi sebelumnya, aku memang punya program untuk memberikan pelatihan keterampilan di Kedutaan Besar RI di Malaysia. Pesertanya adalah ibu-ibu dan warga negara Indonesia yang tinggal di Malaysia. Tak dinyana, kedatanganku disambut antusias. Bendera-bendera kecil dikibarkan oleh semua orang yang ada di hadapanku. Kemeriahan tersebut mengingatkanku pada detik-detik keberangkatanku. Teman-teman pramuka di Serang mengantarku dengan penuh harapan.

Para ibu kagum ketika aku datang mengendarai sepeda dengan setumpuk tas yang aku bawa. Banyak yang bertanya tentang perjalanan yang selama ini sudah kutempuhi. Tak sedikit pula yang melontarkan pujian.

Aku seperti superhero yang datang dari langit. Perjamuan yang kudapatkan terkesan berlebihan. Namun, karena acaranya sudah diprogram demikian, aku ikuti saja rangkaiannya tanpa bertanya banyak. Rupanya mereka sudah lama menantiku. Sambutan yang luar biasa. Ternyata, bukan hanya ibu-ibu pejabat yang menungguku. Suami-suami mereka juga ikut mendampingi, mungkin penasaran melihat sosok Fauna yang punya aksi gila ini.

Selain para pejabat, pihak kedutaan tak lupa pula mengundang pengangkap atau pramukanya Malaysia. Mereka juga ikut menunggu dan ingin bertegur sapa serta saling berbagi pengalaman. “Capai kau, Dik Fauna?” tanya seorang ibu dengan rambut disanggul menanyakan kondisiku. Dalam hati, aku berkata, “Ya tentu saja.” Tidakkah terbayangkan aku mesti mengayuh sepeda menyeberangi pulau dan melintas negara? Tidakkah cukup hal itu menggambarkan betapa jauhnya jarak yang harus aku tempuh dan tentu saja sangat melelahkan?

Meski begitu, aku tak menanggapi pertanyaan retoris itu dengan sinis. “Kalau capai, istirahat dulu, Bu,” jawabku dengan setengah bercanda dan menyembunyikan rasa lelah dan penat. Mengeluh hanya akan menunjukkan kekalahan. Aku harus menunjukkan diri sebagai patriot yang selalu bersemangat setiap saat. Itu juga agar teman-teman pengangkap jadi termotivasi oleh kehadiranku. Adik-adik pengangkap itu kebetulan berasal dari Sekolah Kebangsaan, Kuala Lumpur.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest