Follow Us

Cerita Bersambung HAI: Menembus Langit Ep 21

Alvin Bahar - Rabu, 08 Februari 2017 | 12:00
Ilustrasi: Gio
Alvin Bahar

Ilustrasi: Gio

“Bukan begitu, Fauna?” tanya Kak Priatna sambil menoleh ke arahku. Dia memastikan kehendakku. Sambil menyeruput teh manis, aku pun tersenyum sebagai tanda mempertegas niatku.

“Betul sekali, Pak. Saya ingin sekali berkeliling dunia. Ingin menjelajah dengan bersepeda, Pak Bupati,” paparku menambahkan sedikit saja dari uraian yang sudah disampaikan Kak Priatna. Orang nomor satu di Serang itu seperti kebingungan dan berat hati menanggapi citaku. Bingung, entah harus bersikap apa terhadapku. Berat karena mungkin merasa harus memberikan sesuatu kepadaku. Hal itu aku lihat dari gerak tubuh dan cara bicaranya. Beliau terlihat tak antusias dengan misi yang menurutku sangat dahsyat ini. Bupati tak begitu semringah mendengar kabar dari salah satu rakyatnya yang ingin membawa nama kota kelahiranku ke seluruh dunia.

Pak Bupati Sumarna terdiam sesaat. Beliau memikirkan cara menanggapi keinginanku yang sepertinya tak masuk akal.

“Niat kamu hebat, namun saya belum bisa janji akan memberikan kamu uang,” ucap beliau. Benar saja, Pak Bupati pikir aku datang ke rumahnya membawa berkas permohonan dana. Padahal, aku hanya ingin minta izin, tak berharap lebih.

Kesungguhanku bukan dan tak bisa diukur dengan materi. Aku hanya berharap dukungan moril dari Pak Bupati. “Saya belum bisa men-support Dik Fauna. Dengan berat hati, saya mohon maaf,” lanjut Bupati Sumarna dengan datar. Mungkin aksiku dianggapnya tak bisa menghasilkan kontribusi lebih untuk kota kelahiranku. Jadi, Pak Bupati tak bisa memberikan kucuran derma berupa uang. Pak Sumarna, sang bupati yang menjabat sejak 1983 itu terlihat gerah oleh kehadiranku. Sepertinya ia ingin segera beranjak dan tak mau berlama-lama lagi bertatap muka denganku.

Aku bukan pemalak, aku bukan tukang rongrong yang selalu merengek meminta donasi. Mpa tidak mengajarkan bersikap demikian. Tangan di atas lebih bagus dari tangan di bawah.

Mengikuti suasana perbincangan di ruang tamu yang luas ini mengharuskan aku bersikap maklum. Aku paham dengan kondisi yang ada. Mungkin saja anggaran pendapatan daerah Kabupaten Serang masih difokuskan pada pembangunan jalan. Atau masih terkonsentrasi dengan program pemerintah daerah lainnya yang masih dianggap penting. Jadi, untuk urusan sepele sepertiku bukan sebuah prioritas yang perlu didukung. Mungkin juga memang sama sekali tidak akan masuk dalam list agenda yang menjadi perhatian khusus.

“Tidak perlu, Pak, terima kasih. Saya butuh doa saja dari Bapak,” jelasku kepada Pak Sumarna. Aku memang butuh itu. Butuh didoakan saja. Uang bisa habis dalam sekejap, tapi doa bisa membantuku dalam kekuatan menjelajah. Hal itu aku utarakan langsung di hadapannya. Aku berpikir, kalau minta doa, pasti akan diberikan. Bukankah sekadar memanjatkan doa tidaklah berat untuk dilakukan?

“Oh, kalau begitu, saya buatkan surat dukungan untukmu,” ujar beliau. Raut mukanya sekonyong-konyong berubah. Beliau tampak begitu semringah. Setelah aku mengatakan hanya perlu dukungan doa, dengan cekatan Pak Bupati bergerak.

Ajudan dan sekretaris pribadi yang berada di sampingnya langsung menerjemahkan sikap tuannya. Surat pun dibuat dan tak lama kemudian Pak Bupati langsung membubuhkan tanda tangan di lembar kertas berkop surat Pemerintahan Kabupaten Serang. Tak lupa cap biru berlogo resmi kabupaten juga melekat di kanan bawah.

Sambil mengucapkan terima kasih, kami pamit dan bergegas meninggalkan rumah dinas bupati. Di luar, aku dan Kak Priatna tertawa cekikikan. Kalau urusan dana, pasti sulitnya minta ampun dan makan hati. Tapi, kalau minta doa saja, secepat kilat dikabulkan. Semoga doa Pak Bupati mengiringi perjalananku hingga titik negeri yang paling sakral di dunia.

Ilustrasi: Gio
***

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest