GR: Khusus outro gue menginginkan sesuatu yang epik namun tetap gampang ditangkap. Lalu gue bikin aransemen koor ditambah susunan teriakan, yang kemudian diakomodasi Lafa dengan menambahkan atmosfer dreamy.
Akibatnya tercipta ledakan emosi di bagian akhir lagu.
Berbeda dengan Bani Bumi yang mayoritas lagunya berbahasa Indonesia, kali ini di “Phases of Hue” kalian bernyanyi dengan lirik Inggris, begitu pula sebelumnya di single “Tien Shinhan”.
Karaeng Adjie (KA): Menulis lirik Indonesia atau Inggris, semuanya tergantung dari kebutuhan penempatan emosional saja.
“Phases of Hue” menjadi semacam proses katarsis buat gue secara pribadi. Gue mengumpulkan kembali potongan-potongan luka yang tercecer, dan coba menyembuhkannya dengan menuliskannya sebagai sebuah lagu. Itu akar “Phases of Hue”, mengeluarkan semua energi buruk dari sistem tubuh gue.
XT: Lirik bahasa Inggris merupakan perwujudan emosi mentah kami yang tanpa tedeng aling- aling jika dibandingkan dengan Bani Bumi.
Kami tidak berusaha melakukan pretensi dengan menelurkan mitos dalam lirik “Phases of Hue”.
Saat ini kami ingin memperlihatkan sisi keindahan dari sebuah kerapuhan.
Seberapa jauh album Bani Bumi dengan konsep kolosalnya mempengaruhi cara kalian menulis lagu hari ini?
XT: Proses pendewasaan kami sebagai sebuah band dicapai melalui album itu. Sekarang kami telah menemukan siapa Polka Wars yang sebenarnya.
Di Bani Bumi, seperti halnya kebanyakan penyakit album kedua, saat itu kami berusaha ingin menampilkan hal-hal yang istimewa, ingin kedengaran ‘heboh’ dengan segala macam pretensi yang sengaja ditonjolkan.
Kasarnya, Polka Wars harus memamerkan ‘sesuatu’.