HAI-Online.com -Kultur musik bawah tanah tentu berkaitan erat dengan perlawanan dan juga anti struktural. Nilai bermusik yangterus berevolusi sedari dulu ini mengalami berbagai fase yang dapat ditemukan pada lintas generasi ataupun hinggap di berbagai kondisi sosial budaya dan lanskap geografis.
Salah satuera ikonik yang paling dikenal oleh khalayak umum tentu saja adalah medio akhir 1980-an, saat pemuda di area Seattle, Washington yang merasa jengah dengan pakem maskulinitas heavy metal dan punk yang mendominasi musik arus pinggir di kala itu.
Jejak langkah dari album 'Nevermind' milik Nirvana yang sangat tersohor berperan besar dalam membukagatewaybagi banyak grup-grup musik yang tumbuh di era setelahnya.
Kurt Cobain dkk saat ituberhasil menabrakkan semua batas-batas yang ada dalam kultur puritan di dalam heavy metal dan punk yangmereka tangkap sebagaijamur beracun di era sebelumnya.
Serampangan, tanpa batas, ugal-ugalan, dan bersikapsekenanya tanpa memerdulikan sekitaradalah intisari penting yang diambiloleh kesalehan Nirvana dan grup-grup lain seperti Big Black, The U-Men, atau bahkan era proto-grunge pada album Neil Young 'Rust Never Sleeps'.
Baca Juga: Ini Alasan Dwayne Johnson Kencing di Botol Saat Sedang Berolahraga
Melanglangjauh ketigapuluh tahun setelah era tersebut, nilai penting ini kemudian masih terpatri kuat pada trio pemuda yang mendekam di Jatinangor dan menasbihkan diri mereka sebagai Defectum.
Bentangan jarak sejauh 13,500 km dari Washington ke Jatinangor nggak menjadi halangan bagi Obitr, Ugem, dan Rifki untuk mencitrakan diri mereka sebagai sosok paling grunge yang pernah ada saat ini.
Jikabanyaksosok yang melabeli mereka sebagai "Nirvananya Jatinangor", tentu pendengar sama sekali nggak berhak untukngejudgekarena emang begitu lah yang ingin mereka tampilkan - setidaknya itu yang HAI dapatkan dari penjabaran mereka atas diri mereka sendiri.
Seluruh elemen kritik dan keresahan sosial yang ditangkap oleh Defectum puntertuang secara rapi dalam debut album 'Manic Delusions' yang baru banget dirilis bulan lalu (15/10) via Smolly Records.
Menilik album tersebut secara ringkas membuat HAI menjadi semakin paham kalo menemukan produser sekelas Steve Albini emang sangatlahsusah.
Baca Juga: Doyan Nyobain Kuliner Ekstrem, Damon Albarn: Pernah Nggak Sengaja Makan Anjing & Monyet Pas Lagi Tur
Dengerin dulu nih single 'Stop It, Get Some Help' di bawah:
Pada album ini, Defectum seakan berusaha untuk mengendarai mesin waktu yang mengalami kerusakan teknis di tengah-tengah perjalanannya.
Implementasi, interpretasi keberantakan dan ugal-ugalan yang selalu merekahighlightmenjadi tampak sia-sia dengan tatanan suara yang terkesan kurang pas dengan image Defectum.
"Kerusakan teknis"pada mesin waktu tersebut tentu meliputi materi musikalitas Defectum yang sebenarnya sama sekali nggak buruk, hanya saja mereka sangat berusaha maksimal untuk menjadi Nirvana baru - yang kita semua tahu kalo itu adalah hal yang mustahil.
Baca Juga: Review Album 'Burgundy' - Pretty Rico, Kekuatannya Ada di Dua Lagu
Terlepas dari semua hal tersebut, apresiasi maksimal tentu harus diberikan pada Defectum atas penerjemahan yang dituangkan dalam produktivitas karya.
Kalau saja Defectum mampu menerka keberantakan pada masing-masing personelnya, bukan nggak mungkin Defectum bisa menjelma jadi sesuatu yang besar di masa depan, tanpa perlu repot-repot mengendarai mesin waktu yang hilang arah tersebut.
Berantakan dan ugal-ugalan dalam bermusik memang sah dan berpotensi untuk menjadi keren banget, namun sayang sekali lebih banyak elemen keren yang tergerus kalo formulasinya nggak berjalan beriringan.
Kudos for Defectum for giving us a newest perspective. You guys are rebellious as hell, just rock on and keep it organic!