Follow Us

Suka Nyerang dan Bikin Sakit Hati Orang Lain, Komunikasi Netizen Indonesia Agresif ke Arah Destruktif

Al Sobry - Rabu, 14 April 2021 | 08:34
Suka Nyerang dan Bikin Sakit Hati Orang Lain, Komunikasi Netizen Indonesia Agresif ke Arah Destruktif
Medium

Suka Nyerang dan Bikin Sakit Hati Orang Lain, Komunikasi Netizen Indonesia Agresif ke Arah Destruktif

HAI-Online.com - Masih ingat kasus Dayana, warga Rusia yang karirnya langsung jatuh oleh jempol-jempol netizen Indonesia? Yang baru adalah dua pasangan gay di Thailand nih yang tiba-tiba diserang netizen +62.

Kasusnya masih hangat dan sedang dibawa-bawa ke ranah hukum lantaran komentar netizen kita yang makin kebablasan sampai mengeluarkan komentar bernada ancaman.

Nah, kejahilan jempol netizen Indonesia dalam mengomentari figur publik ini, menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Caecilia Santi Praharsiwi, MA dalam tulisannya di Kompas.com, menjadi salah satu wujud dari komunikasi agresif atau verbal aggresiveness.

Baca Juga: Disebut Mirip Lee Min Ho, Kang Nasi Kuning di Samarinda Ini Nggak Mau Di-Bully

Ini merupakan komunikasi yang dilakukan seseorang untuk menyerang konsep diri orang lain dengan maksud menimbulkan kesakitan secara psikologis melalui pesan-pesan yang disampaikan secara verbal (Infante & Wigley, 1986).

"Komunikasi agresif ini bukanlah ketidaksengajaan, melainkan justru dilakukan secara sengaja atas dasar tidak suka, katanya beberapa waktu lalu.

Menurut dosen Caecilia, sikap tidak suka ini kemudian memunculkan keinginan memberikan kesakitan pada orang lain dengan cara menyerang karakter (self-concepts), kompetensi, latar belakang, atau penampilan fisik melalui pesan verbal yang bernada pelecehan, ejekan, bahkan ancaman.

"Ada banyak contoh kejadian dimana kita bisa melihat netizen Indonesia sangat ahli melakukan komunikasi agresif dengan difasilitasi media sosial," jelasnya.

Lebih jauh, mereka tidak hanya berhenti pada produksi pesan-pesan verbal tapi juga mendorong munculnya tindakan kolektif menjatuhkan karir dan popularitas si korban, misal dengan mengajak unfollow Instagram dan dislike video musiknya, figur publik bisa jatuh tak berdaya.

Berdasarkan data Hootsuite Wearesocial (2019), pengguna media sosial di Indonesia berjumlah 150 juta atau sebesar 56 persen dari keseluruhan populasi penduduk Indonesia.

Sayangnya, data tersebut baru-baru ini dibarengi dengan hasil penelitian yang dirilis oleh Microsoft bahwa pengguna media sosial Indonesia adalah yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara.

Baca Juga: Netizen Indonesia Ter-Nggak Sopan Se-Asia Tenggara, Ini Penobatan dari Microsoft

Tentu saja ujaran kebencian menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi risiko kesopanan netizen Indonesia pada riset tersebut.

Ini menunjukkan bahwa komunikasi di media sosial Indonesia cenderung bersifat destruktif daripada konstruktif.

"Jika komentar-komentar netizen dicermati lebih jauh, mereka secara terbuka mengungkapkan pendapat dan argumentasinya tentang public figure yang diserang.

"Pendapat itu mereka gunakan sebagai justifikasi atau pembenaran ketika menyerang secara verbal.

"Namun, yang menjadi catatan dan titik penting adalah perilaku agresif netizen ini ada pada level individu," bebernya lagi.

Nah, netizen atau pengguna media sosial perlu dilihat sebagai individu-individu yang melakukan tafsir atas realitas dan kemudian menunjukkan ekspresinya di media sosial.

Munculnya frasa "netizen mahabenar" menunjukkan individu-individu ini berada pada sebuah kungkungan pemahaman yang mereka pahami secara sepihak dan parsial atas realitas yang terjadi.

Netizen secara kolektif dan berulang-ulang meyakini bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang "baik" dengan membela pihak yang dianggap dirugikan dan memberikan hukuman kepada yang dianggap bersalah.

Padahal yang terjadi justru sebaliknya, relasi negatif tercipta melalui komunikasi agresif yang ditujukan kepada seseorang yang diserang. Di sisi lain, pihak yang dibela juga belum tentu merasa diuntungkan.

Tidak heran, jika kemudian dampak yang muncul adalah kesakitan secara psikologis yang memicu depresi dan menarik diri dari lingkungan sosial.

Pada kasus yang lebih ekstrem, komunikasi agresif ke public figure bisa berujung pada risiko bunuh diri. Melihat ganasnya netizen Indonesia, kita perlu waspada pada risiko-risiko ini.

Oleh karena itu, sikap mawas diri atau self-awareness penting dimiliki individu pengguna media sosial.

Sadar ketika melakukan tafsir atas pesan-pesan yang diterima di media sosial, dan sadar atas tindakan yang dilakukan kemudian.

Media sosial dengan kecepatan dan kemudahan interaktivitasnya memang sering membuat kita lupa untuk berhenti sejenak, menyadari apa yang diri kita pahami dan memikirkan dampak yang lebih jauh atas tindakan-tindakan kita.

"Melalui sikap mawas diri, kita bisa sadar untuk tidak mudah percaya pada citra yang dimunculkan public figure di media sosial, berhati-hati dalam mengidolakan seseorang, dan juga tidak mudah menjatuhkan orang lain ketika tidak sejalan dengan pemikiran kita," ulasnya.

Mawas diri adalah salah satu cara yang bisa menjadi langkah awal dari terbentuknya literasi informasi. Berawal dari kemampuan untuk kritis dalam mencerna pesan-pesan di medsos bisa mengarah pada terbentuknya iklim komunikasi yang lebih baik karena pesan-pesan yang diproduksi tidak bersifat agresif atau destruktif.

Bagaimanapun, tidak bisa dimungkiri bahwa netizen Indonesia memiliki energi yang besar untuk melakukan gerakan bersama-sama.

Ini bisa dilihat sebagai peluang untuk menggerakkan pengguna media sosial agar melakukan gerakan yang berkaitan dengan isu-isu penting yang ada di sekitarnya.

So, lebih baik simpan dna salurkan energi jempol kalian ke arah yang benar (konstruktif). Tidak lagi merugikan diri sendiri dan apalagi orang lain, tapi justru mengajak kebaikan ke orang banyak. (*(

Editor : Al Sobry

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest