Tentu saja ujaran kebencian menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi risiko kesopanan netizen Indonesia pada riset tersebut.
Ini menunjukkan bahwa komunikasi di media sosial Indonesia cenderung bersifat destruktif daripada konstruktif.
"Jika komentar-komentar netizen dicermati lebih jauh, mereka secara terbuka mengungkapkan pendapat dan argumentasinya tentangpublic figureyang diserang.
"Pendapat itu mereka gunakan sebagai justifikasi atau pembenaran ketika menyerang secara verbal.
"Namun, yang menjadi catatan dan titik penting adalah perilaku agresif netizen ini ada pada level individu," bebernya lagi.
Nah, netizen atau pengguna media sosial perlu dilihat sebagai individu-individu yang melakukan tafsir atas realitas dan kemudian menunjukkan ekspresinya di media sosial.
Munculnya frasa "netizen mahabenar" menunjukkan individu-individu ini berada pada sebuah kungkungan pemahaman yang mereka pahami secara sepihak dan parsial atas realitas yang terjadi.
Netizen secara kolektif dan berulang-ulang meyakini bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang "baik" dengan membela pihak yang dianggap dirugikan dan memberikan hukuman kepada yang dianggap bersalah.
Padahal yang terjadi justru sebaliknya, relasi negatif tercipta melalui komunikasi agresif yang ditujukan kepada seseorang yang diserang. Di sisi lain, pihak yang dibela juga belum tentu merasa diuntungkan.
Tidak heran, jika kemudian dampak yang muncul adalah kesakitan secara psikologis yang memicu depresi dan menarik diri dari lingkungan sosial.
Pada kasus yang lebih ekstrem, komunikasi agresif kepublic figurebisa berujung pada risiko bunuh diri. Melihat ganasnya netizen Indonesia, kita perlu waspada pada risiko-risiko ini.
Oleh karena itu, sikap mawas diri atauself-awarenesspenting dimiliki individu pengguna media sosial.