Follow Us

Biografi WR Supratman: Ingin Perkenalkan Indonesia ke Internasional Lewat Lagu Kebangsaan

Hanif Pandu Setiawan - Selasa, 09 Maret 2021 | 19:39
WR Supratman
Kolase TribunNewsmaker - Intisari/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

WR Supratman

Kata-kata itu juga yang terus menjadi pegangan utamanya dalam menghadapi hidup selanjutnya.

Dengan pergerakan kebangsaan mulai terdengar di Ujung Pandang. Sebagai remaja, Wage merasa terpanggil untuk mengenal Pulau Jawa. Bosan dengan gaya hidup kebarat-baratan, dia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan.

Dia yang biasa bekerja sebagai guru, pekerjaan yang teratur dan tenang, sekarang harus hidup sebagai wartawan dengan gaji kecil dan pekerjaan tak teratur. Dia juga harus bergaul dengan semua lapisan masyarakat. Untuk menutup kekurangannya, Wage bekerja sebagai pemain musik di sebuah perkumpulan musik kaum peranakan Belanda.

Tak puas dengan Bandung, ia pindah ke Jakarta. Dia sekali lagi harus menentukan pilihan, meneruskan hidup kebarat- baratan atau menerima kenyataan bahwa wartawan itu miskin. Barang-barangnya habis digadaikan, tapi dia puas mendapat kesempatan menghadiri pertemuan-pertemuan politik.

Sedikit demi sedikit pengaruh pergerakan nasional merasuk ke jiwanya. Kalau dulu dia senang hidup ala Belanda, sekarang dia bisa marah bila ada yang menyinggung soal, pribumi. Tapi toh malah dianggap "Belanda pun tidak''. Hingga terjadi peristiwa di mana ia dimaki tiga pemuda Belanda dengan sebutan inlander (pribumi) sambil meludahinya.

"Lu kira lu berdarah Eropa? Lu tidak lebih dari Inlander yang makan singkong busuk," kata orang Belanda itu.

Hinaan itu membuatnya tercengang. Tapi justru saat itulah, setelah kemarahan reda, merupakan titik balik sikap hidup Supratman. Dia merasa berdosa pada tanah airnya dan berjanji akan berbakti semampunya.

Baca Juga: Fakta Menarik WR.Supratman dan Hari Musik Nasional, Ternyata Lagu Indonesia Raya Dibuat Karena...

***

Dari rumah gedung, Wage Supratman pindah ke kampung dan mengontrak pondok beratap nipah dan berlantai tanah. Di daerah tempat tinggalnya dia mulai mengerti penderitaan rakyat. Tak jarang dia melihat penduduk di sekitarnya makan sehari sekali, itu pun hanya kerak nasi.

Walau miskin, Wage merasa bahagia. Bahkan dia mulai meninggalkan musik sebagai mata pencaharian. "Uang pencarian seperti itu tidak berkat" katanya. Tidak diberkati Tuhan. "Apa gunanya gaji besar kalau tidak memberi kepuasan. Ibarat orang minum air garam di hari panas. Semakin diminum semakin dahaga dan kesehatan pun rusak".

Sebagai wartawan Wage punya kebanggaan tersendiri.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest