HAI-Online.com - “Di masa yang akan datang Indonesia akan bersalaman dengan dunia internasional. Maka semangat itu harus ditanamkan dalam sanubari bangsa kita. Mengapa tidak dimasukkan dalam lagu kebangsaan?
Wage Rudolf Supratman atau yang kita kenal dengan WR Supratman mungkin nggak sempat menyaksikan lagu ciptaannya diperdengarkan di berbagai ajang internasional, di podium-podium kompetisi dunia, dinyayikan atlet-atlet kita dengan air mata haru. Namun, peninggalannya akan tetap dikenang abadi oleh seluruh warga Indonesia sebagai salah satu warisan yang paling berharga: Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Sebagai tanda jasa, hari kelahirannya, 9 Maret 1903 ditetapkan menjadi Hari Musik Nasional sejak tahun 2013 oleh presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
***
Hati seorang pemuda bernama Supratman tergugah dan tertantang melihat permainan biola kakak perempuannya. Dia ingin sekali memainkan biola. Seperti biasa, dia akan mengerjakan keinginannya itu dengan diam-diam.
Baca Juga: Kok Bisa 9 Maret Jadi Hari Musik Nasional? Begini Sejarah Penetapannya
Hampir tiap hari, calon guru ini berlatih biola di kamarnya. Umurnya baru 19 tahun ketika dia memamerkan kepandaiannya di sebuah pesta kawin. Rukiyem, sang kakak, kali ini dibuatnya kaget. Dalam dua tahun permainan Wage Rudolf Supratman ternyata jauh lebih baik darinya. Sejak saat itu, Supratman dikenal sebagai pemain biola di Ujung Pandang, tempat tinggalnya bersama Rukiyem.
Nama pemberian orangtua hanya Supratman. Tapi karena lahir pada hari Jumat Wage, dia mendapat panggilan akrab di keluarga si Wage dan nama baptis Rudolf. Lahir 9 Maret 1903, anak laki-laki tunggal putra sersan Kartodikromo ini sangat dimanja di keluarganya. Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi.
Wage yang pendiam dan senang berkhayal ini makin tak betah di rumahnya di Jatinegara, Jakarta. Akhirnya dia ikut kakak tertuanya ke Ujung Pandang.
***
Otaknya cukup cerdas, hanya sayang kulitnya coklat matang hingga dia ditolak di sekolah Belanda. Mau tak mau dia harus sekolah di Bumi Putra. Umur 17 tahun dia tamat sekolah dan diangkat menjadi guru. Mensyukuri keberhasilannya ini Wage berkata pada kakaknya "Kalau tidak karena kakak, tidaklah menjadi guru. Dengan apa kubalas budi kakak?”
"Balaslah dengan lebih rajin belajar terhadap segala macam ilmu. Ingatlah kau telah menjadi guru. Itu berarti tanggung-jawabmu pada masyarakat besar sekali,” kata kakaknya.