"Wartawan itu pemuka bangsa. Bukankah seorang wartawan memberi penerangan umum? Bukankah tugas wartawan membela yang tertindas".
Kala itu Wage Rudolf Supratman bekerja di koran SinPo sebagai wartawan kriminal.
***
Pergerakan politik hangat. Dari Yogyakarta muncul anjuran agar komponis Indonesia menciptakan lagu yang bisa dijadikan lagu ke- bangsaan.
Yang ada waktu itu baru beberapa lagu mars seperti ‘Dari Barat Sampai Ke Timur' yang kurang memberi semangat dan kepuasan bagi kebanyakan rakyat. Supratman begitu gembira dan dalam hati dia yakin akan mampu memenuhi anjuran itu.
Berhari-hari, siang malam dia mempersiapkan lagunya. Hari ke delapan, jam lima pagi dia berhasil menyelesaikan not sebuah lagu yang dirasa bersemangat dan mencerminkan semangat rakyat yang tak bisa dirantai, tak bisa dikekang lagi.
Lagu itu menggambarkan perjuangan rakyat yang tak kenal lelah. Supratman yakin lagu karangannya cocok dengan jiwa bangsa Indonesia yang sedang bangkit dari tidurnya yang lelap.
“Di masa yang akan datang Indonesia akan bersalaman dengan dunia internasional. Maka semangat itu harus ditanamkan dalam sanubari bangsa kita. Mengapa tidak dimasukkan dalam lagu kebangsaan?” katanya pada diri sendiri.
Tapi, kemudian dia bingung memberi judul lagunya. Mungkin "Lagu Kebangsaan" cukup katanya. Setiap ada kesempatan dimainkan lagu ciptaannya. Dalam menyusun syairnya Supratman teringat pidato Bung Karno di Bandung yang pernah didengarnya, "Airnya kamu minum, nasinya kamu makan. Abdikanlah dirimu padanya. Kepada Ibu Pertiwi, Ibu Indonesia".
Dia kemudian menetapkan judul lagu ciptaannya. "Apa salahnya kalau aku namakan Indonesia Raya?" tanyanya pada diri sendiri.
Tanggal 22 Desember 1928 Supratman menulis surat ke pengurus Gedung Perhimpunan Indonesia di Kramat, Jakarta. Isinya pemberitahuan telah tercipta sebuah lagu yang bersemangat dan berirama mars.
Wage lalu minta diberi kesempatan untuk memperdengarkan lagunya.