Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Seperti Manusia, Ternyata Pegunungan Himalaya pun Bisa ‘Bernapas’

Hanif Pandu Setiawan - Jumat, 21 Mei 2021 | 09:00
Everest, salah satu Gunung pada Pegunungan Himalaya.
Wikimedia

Everest, salah satu Gunung pada Pegunungan Himalaya.

HAI-Online.com – Bernapas ternyata nggak cuma dilakukan oleh makhluk hidup seperti manusia dan hewan.

Namun tahukah kalian bahwa ternyata Pegunungan Himalaya ternyata pun bisa "bernapas" seperti manusia?

Ada saatnya gunung-gunung di wilayah tersebut tumbuh mengembang, tapi ada waktunya juga mereka menyusut. Mirip seperti rongga dada manusia saat menghirup dan mengembuskan napas. Lho kok bisa?

Jadi pada prinsipnya, jika kita dapat memajukan jam planet kita dengan cepat, yang berarti mempercepat putaran rotasinya, permukaan bumi akan menggeliat karena aktivitas perputaran tersebut. Benua-benua akan berlarian di seluruh dunia, lautan-lautan akan terbuka dan tertutup, dan gunung-gunung baru akan menjulang ke langit.

Namun, setelah gunung-gunung naik, gunung-gunung tersebut secara berkala juga akan tenggelam kembali ketika tekanan dari tabrakan tektonik memicu gempa bumi.

Luca Dal Zilio, ahli geofisika dari California Institute of Technology di Amerika Serikat menjelaskan, peristiwa ini terjadi dalam satu siklus, seperti dada raksasa berbatu yang menarik napas nggak rata.

Kekuatan yang mendorong siklus ini sangat kompleks, dan nggak ada yang lebih nyata daripada di puncak bergerigi sepanjang 1.400 mil yang membentuk Himalaya.

Baca Juga: Ketiduran di Atas Gunung Es, Walrus Ini Nyasar Sampai Irlandia

Memahami dasar-dasar yang mendasari wilayah Himalaya ini sangat penting untuk memahami risiko lokal gempa bumi yang mengancam ratusan juta orang yang hidup dalam bayang-bayang pegunungan tersebut.

Dalam makalah hasil studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature Reviews, Dal Zilio dan rekan-rekannya telah menggabungkan hasil dari lebih dari 200 studi geologi Himalaya sebelumnya untuk menjabarkan mekanisme rumit di balik pernapasan geologis pegunungan tersebut.

Karena "napas" geologi serupa telah didokumentasikan di seluruh dunia, pekerjaan baru ini adalah kunci untuk memahami proses yang membentuk banyak pegunungan di bumi dan mencari tahu risiko yang mungkin ditimbulkan oleh pegunungan-pegunungan tersebut.

Hamparan luas Himalaya dan kompleksitas geologisnya menjadikannya laboratorium alam yang hebat, kata salah penulis dalam studi ini, Judith Hubbard, ahli geologi struktural dari Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.

“Ini hampir seperti Bumi yang menjalankan eksperimen untuk kita,” katanya kepada National Geographic.

Lempeng tektonik planet ini terus bergerak, membentuk kembali permukaannya saat mereka berpisah dan bertabrakan. Himalaya adalah hasil dramatis dari salah satu tumpukan tektonik semacam itu sekitar 50 juta tahun yang lalu, ketika lempeng benua India menabrak lempeng Eurasia.

Sampai hari ini India terus bergerak ke utara dengan kecepatan hampir dua inci setiap tahun. Tapi daratan tersebut nggak meluncur mulus di bawah Eurasia. Dan saat India menekan, lempeng Eurasia menggembung dan membengkak.

Proses ini mendorong pegunungan sedikit lebih tinggi ke langit dalam waktu yang lama. Akhirnya, tekanan mencapai titik puncaknya, dan daratan bergeser menjadi gempa yang mengguncang tanah —versi geologis dari napas atau batuk.

Siklus ini terlihat mematikan pada tahun 2015. Kala itu gempa berkekuatan 7,8 skala Richter menyebabkan petak pegunungan Himalaya tenggelam hampir dua kaki.

Baca Juga: Ngerasa Belakangan Ini Cuaca Panas Banget? Ini Penjelasan dari BMKG

Namun yang menjadi catatan para peneliti, zona-zona yang berbeda dalam rangkaian pegunungan Himalaya dapat menghasilkan jenis atau intensitas pernapasan yang berbeda.

Untuk memahami kerumitan ini, para ilmuwan harus menyatukan proses pembentukan gunung-gunung yang terjadi pada skala waktu yang berbeda secara drastis —dari penurunan kecepatan lempeng tektonik yang lambat hingga pergeseran gempa yang hampir seketika.

Ini tentu bukanlah hal yang mudah. Pengukuran-pengukuran yang berbeda diperlukan untuk memahami setiap fenomena, yang sering kali melibatkan peneliti dari berbagai spesialisasi geologi.

Dari sebuah makalah penelitian yang ditinjau dalam studi terbaru ini, Hubbard dan rekan-rekannya menemukan bahwa lengkungan bawah permukaan mengelilingi bagian sesar yang bergeser selama gempa tahun 2015 tersebut.

Ini mengisyaratkan bahwa struktur-struktur di pegunungan tersebut membatasi tingkat kerusakan dan juga besarnya gempa.

Struktur-struktur lain yang terbentuk selama berabad-abad mungkin ada di sepanjang wilayah tersebut, dan mereka juga dapat membatasi seberapa jauh gempa dapat merambat di dekat permukaan, kata Dal Zilio.

Makalah studi tinjauan ini sendiri menyoroti bagaimana mengumpulkan berbagai informasi yang tersedia dapat membantu para ilmuwan mengembangkan pemahaman yang lebih lengkap —dan model komputer yang lebih kuat— terkait gempa di Himalaya maupun pegunungan lainnya.

Baca Juga: Terbuat dari 50 Botol Plastik Bekas, Eiger Kembangkan Eco Savior, Tas Gunung Ramah Lingkungan

Nggak hanya tentang bagaimana jangkauan gempa itu tumbuh, tetapi juga potensinya yang mematikan.

“Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui jenis gempa apa yang dapat kita perkirakan dan jenis kerusakan apa yang akan mereka hasilkan,” kata Hubbard yang menambahkan bahwa untuk melakukan hal itu perlu pekerjaan detektif yang signifikan. (*)

Artikel ini telah tayang di nationalgeographic.grid.id dengan judul "Himalaya Ternyata 'Bernapas', Gunung-Gunungnya Mengembang dan Menyusut"

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x