HAI-Online.com – Bernapas ternyata nggak cuma dilakukan oleh makhluk hidup seperti manusia dan hewan.
Namun tahukah kalian bahwa ternyata Pegunungan Himalaya ternyata pun bisa "bernapas" seperti manusia?
Ada saatnya gunung-gunung di wilayah tersebut tumbuh mengembang, tapi ada waktunya juga mereka menyusut. Mirip seperti rongga dada manusia saat menghirup dan mengembuskan napas. Lho kok bisa?
Jadi pada prinsipnya, jika kita dapat memajukan jam planet kita dengan cepat, yang berarti mempercepat putaran rotasinya, permukaan bumi akan menggeliat karena aktivitas perputaran tersebut. Benua-benua akan berlarian di seluruh dunia, lautan-lautan akan terbuka dan tertutup, dan gunung-gunung baru akan menjulang ke langit.
Namun, setelah gunung-gunung naik, gunung-gunung tersebut secara berkala juga akan tenggelam kembali ketika tekanan dari tabrakan tektonik memicu gempa bumi.
Luca Dal Zilio, ahli geofisika dari California Institute of Technology di Amerika Serikat menjelaskan, peristiwa ini terjadi dalam satu siklus, seperti dada raksasa berbatu yang menarik napas nggak rata.
Kekuatan yang mendorong siklus ini sangat kompleks, dan nggak ada yang lebih nyata daripada di puncak bergerigi sepanjang 1.400 mil yang membentuk Himalaya.
Baca Juga: Ketiduran di Atas Gunung Es, Walrus Ini Nyasar Sampai Irlandia
Memahami dasar-dasar yang mendasari wilayah Himalaya ini sangat penting untuk memahami risiko lokal gempa bumi yang mengancam ratusan juta orang yang hidup dalam bayang-bayang pegunungan tersebut.
Dalam makalah hasil studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature Reviews, Dal Zilio dan rekan-rekannya telah menggabungkan hasil dari lebih dari 200 studi geologi Himalaya sebelumnya untuk menjabarkan mekanisme rumit di balik pernapasan geologis pegunungan tersebut.
Karena "napas" geologi serupa telah didokumentasikan di seluruh dunia, pekerjaan baru ini adalah kunci untuk memahami proses yang membentuk banyak pegunungan di bumi dan mencari tahu risiko yang mungkin ditimbulkan oleh pegunungan-pegunungan tersebut.
Hamparan luas Himalaya dan kompleksitas geologisnya menjadikannya laboratorium alam yang hebat, kata salah penulis dalam studi ini, Judith Hubbard, ahli geologi struktural dari Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.