Baca Juga: Main di Barat: Saturday Punk-coustic Jadi Ajang Silaturahmi Stand Here Alone Dkk Dengan Fans!
Hari itu, tanggal 24 Desember 1928. Gedung PPPI (sekarang gedung Sumpah Pemuda Jin. Kramat Raya Jakarta) penuh sesak dihadiri pemuda utusan dari berbagai daerah. Wajah mereka mencerminkan kesungguhan dan semangat kebangsaan.
Tiba-tiba seorang pemuda yang langsing, kurus dan hitam dengan senyum terlukis di bibir, maju ke mimbar memimpin orkes. Pancaran matanya menunjukkan dia pemuda yang idealis.
Pertama-tama orkes menyanyikan lagu kebangsaan beberapa negara. Kemudian hadirin diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan seksama.
Tangan pemuda itu terlihat gemetar, tapi dengan pelan tetap digesek biolana diiringi piano.
Sekali lagi diulangi lagu ciptaannya sambil menyanyikan syair dengan penuh semangat. Terakhir lagu itu dinyanyikan bersama oleh lima puluh orang pemuda. Lagu telah lama selesai tapi ruangan kongres tetap sepi. Keharuan meliputi diri semua orang.
Lagu yang menumbuhkan semangat telah mereka temukan.
Belanda Marah dengar Lagu Ciptaan Wage
Lagu Indonesia Raya belum dapat dikatakan sebagai lagu kebangsaan. la sudah diterima sebagai lagu perjuangan, pembangkit semangat dan tersimpan rapat di hati tiap orang.
Salinan lagu itu kemudian dicetak dan habis terjual, hingga mempercepat penyebarannya. Semua orang sibuk menghafalkannya, tak mau kalah satu dengan yang lain.
Di setiap kesempatan orang menyanyikannya bersama, entah itu di jalan, di rumah apalagi dalam pertemuan resmi. Akibatnya sudah jelas pemerintah Belanda tak senang. Lagu karangan Wage ternyata lebih hebat pengaruhnya daripada pidato politik.
Lagu itu dilarang beredar, tapi justru rakyat semakin bersemangat menyanyikannya.