Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

10 Fatwa Ajaran Ki Hadjar Dewantara yang Kita Harus Ketahui

Alvin Bahar - Rabu, 02 Mei 2018 | 08:15
Ilustrasi Ki Hadjar Dewantara
Alvin Bahar

Ilustrasi Ki Hadjar Dewantara

HAI-ONLINE.COM – Coba diingat-ingat benar, siapa itu Ki Hadjar Dewantara? Nama aslikah itu? Apa pula ajarannya sampai tanggal lahirnya ditetapkan jadi hari besar nasional?

Tebakan paling baik, yang teringat dari nama ini mungkin kurang lebih hanya, “Umm... tokoh pendidikan nasional?” Nggak usah malu atau merasa dipermalukan kalo nggak juga mendapatkan informasi tambahan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Banyak orang sekarang bisa jadi punya ingatan sama pendeknya soal nama ini kok.

Kalopun ada tambahan informasi yang teringat, paling banter ya Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan setiap 2 Mei ini punya kaitan dengan Ki Hadjar Dewantara. Soal ajarannya, barangkali hanya anak-anak generasi Orde Baru yang tumbuh besar dalam deretan slogan dan jargon yang masih ingat beberapa hapalan tentangnya.

“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” tiga frasa yang dulu rutin jadi soal ulangan atau pertanyaan di ujian kecakapan Pramuka tentang ajarannya. Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia kurang lebih, “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan.”

Sederet slogan tersebut sampai kini resminya masih jadi acuan bagi guru dalam mendidik para siswanya. Senggaknya, frasa “tut wuri handayani” masih setia terpajang sebagai bagian dari logo Kementerian Pendidikan Nasional.

Ki Hadjar Dewantara adalah nama alias untuk Raden Mas Soewardi Soerjaningrat sejak 1922. Lahir pada 1889, tanggal kelahirannya ditetapkan jadi Hari Pendidikan Nasional, yaitu setiap 2 Mei. Penelusuran Kompas.com mendapati penetapan Hari Pendidikan Nasional ini muncul di Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1959 dan aturan lain sesudah itu yang merujuk kepada aturan tersebut.

Itu pun, “tentang”-nya adalah “Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur” bersama sejumlah hari peringatan lain. Merujuk harian Kompas edisi 2 Mei 1968, penetapan tersebut merupakan bentuk penghargaan Pemerintah atas jasa Ki Hadjar Dewantara yang telah memelopori sistem pendidikan nasional berbasis kepribadian dan kebudayaan nasional.

Penggunaan nama alias pada 1922 bertepatan dengan langkah Ki Hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta. Sejak itu, kiprahnya di dunia pendidikan terus berlanjut, sejalan dengan semangatnya melawan penjajahan.

Fatwa ajaran

Soewardi adalah Menteri Pendidikan pertama setelah Indonesia merdeka. Dia ditetapkan Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional pada 1959, yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 305 Tahun 1959.

Dalam sistem yang dia kembangkan, Ki Hadjar Dewantara mengeluarkan “10 Fatwa akan Sendi Hidup Merdeka”. Di belakang hari, ajaran ini dikenal dan dikaji lagi antara lain dengan penyebutan beken “pendidikan karakter”.

Seperti dikutip dari salah satu situs web lembaga pendidikan Taman Siswa, kesepuluh fatwa Ki Hajar Dewantara tersebut berikut penjelasannya adalah:

Cek: Ini Dia 3 Tokoh yang Berkontribusi Besar Terhadap Pendidikan Indonesia

1. Lawan sastra ngesti mulya

Terjemahan bebasnya, "dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan". Penjelasan poin ini mencakup pula frasa lain, yaitu sastra herjendrayuningrat pangruwating dyu, yang terjemahannya, "ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban".

2. Suci tata ngesti tunggal

Penjelasan bebasnya, "dengan suci batinnya, tertib lahirnya menuju kesempurnaan".

3. Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia

Merujuk situs web tersebut, fatwa ini menjelaskan bahwa bagi Tuhan semua manusia itu pada dasarnya sama, sama haknya dan sama kewajibannya, sama haknya mengatur hidupnya serta sama haknya menjaIankan kewajiban kemanusiaan untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan bahagia daIam hidup batinnya. Intinya, jangan kita hanya mengejar keselamatan lahir, dan jangan pula hanya mengejar kebahagiaan hidup batin.

4. Salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya masyarakat

Penjelasan fatwa ini, ”Sebagai peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita iaIah hak-hak orang lain yang seperti kita masing-masing sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan bersama harus diletakkan di atas kepentingan diri masing-masing akan hidup selamat dan bahagia, apabila masyarakat kita terganggu, nggak tertib dan damai. Janganlah mengucapkan 'hak diri' kalo nggak bersama-sama dengan ucapan 'tertib damainya masyarakat', agar jangan sampai hak diri itu merusak hak diri orang lain sesama kita, yang berarti merusak keselamatan hidup bersama, yang juga merusak kita masing-masing.

5. Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna

Sebagai pengakuan bahwa kodrat alam, yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengelilingi dan melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa, yang berjalan tertib dan sempuma di atas segala kekuasaan manusia. Janganlah hidup kita bertentangan dengan ketertiban kodrat alam. Petunjuk dalam kodrat alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai orang seorang atau individu, sebagai bangsa, maupun sebagai anggota dari alam kemanusiaan.

6. Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan

Penjelasannya, bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus, yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus tersebut adalah alam diri, alam kebangsaan, dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa, dan rasa kemanusiaan, ketiga-tiganya hidup dalam tiap-tiap sanubari kita masing-masing manusia, yang nggak dapat dipungkiri keberadaannya.

7. Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada sang anak

Dalam mendidik, penghambaan kepada sang anak nggak lain daripada penghambaan kita sendiri. Sungguh pun pengorbanan kita itu kita tujukan kepada sang anak, tetapi yang memerintahkan kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, melainkan diri kita masing-masing. Di samping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara, pada rakyat, dan agama, atau terhadap lainnya. Semua itu nggak lain penghambaan pada diri sendiri, untuk mencapai rasa bahagia dan rasa damai dalam jiwa kita sendiri.

8. Tetep–mantep–antep

Dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus memiliki ketetapan hati (tetep), termasuk tekun bekerja, nggak menoleh ke kanan dan ke kiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita harus selalu mantep, setia dan taat pada asas itu, teguh iman hingga nggak ada yang akan dapat menahan gerak kita atau membelokkan aliran kita. Sesudah kita tetap dalam gerak lahir kita, lalu mantep dan tabah batin kita, segala perbuatan kita akan antep, yaitu berat berisi dan berharga, nggak mudah dihambat, ditahan-tahan, dan dilawan oleh orang lain.

9. Ngandel–kendel–bandel

Kita harus ngandel, percaya, kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. Kendel, berani, nggak ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya kepada Tuhan dan kepada diri sendiri. Bandel, yang berarti tahan dan tawakal. Dengan demikian maka kita jadi kendel, tebal, kuat lahir batin kita, berjuang untuk cita-cita kita.

10. Neng-ning–nung–nang

Dengan meneng (neng), tenteram lahir batin, nggak nervous, kita jadi wening (ning), bening, jernih pikiran kita, mudah membedakan mana yang benar dan mana yang salah, lalu kita jadi hanung (nung), kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita, hingga akhirnya menang (nang) dan mendapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Siapa dan Apa Ajaran Ki Hadjar Dewantara?". Penulis : Palupi Annisa Auliani

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x