Sambungan dari Part 5
6
DEBAT AKTIVIS
Tak kala teori sudah aku kuasai. Mulai menghitung skala jarak di peta hingga mengumpulkan informasi dari semua negara yang ingin disinggahi adalah modal. Ya, perhitungan teoriku selama ini tak pernah meleset soal menerka jarak tempuh. Obsesiku kini coba kusampaikan kepada teman-teman dekat lainnya. Serasa tak bisa disembunyikan lagi. Dan, Wimas menjadi tempat curhatku selanjutnya, setelah Solomon.Wimas Agung, anak muda keturunan Tiongkok betubuh gemuk. Rajin ke masjid dan sering jadi imam kalau sedang sholat bersama teman-teman. Pria yang memiliki pipi bulat itu menjadi salah satu sahabat karibku. Karena, sewaktu SMP Wimas sering menjadi tim di pangkalan latihan pramuka di Sekolah Mardi Yuana. Sekolah swasta tertua bergengsi yang didirikan misionaris Belanda.
Sama-sama aktivis Pramuka. Aku dan Wimas sudah sering berargumentasi, selalu beradu opini dan kerap berbeda pendapat dalam membicarakan banyak hal. Walau demikian, kami tak pernah emosional, berantem, apalagi sampai memutus tali silaturahim.
***
Dua sepeda terparkir. Bersandar di bangku taman alun-alun kota Serang. Satu sepeda mini merah muda miliku, satunya lagi sepeda balap milik Wimas Agung. Disinilah biasanya aku bertemu dengan sahabatku yang paling subur. Sebuah taman luas yang kerap dimanfaatkan untuk bermain dan berolahraga. Lokasinya persis di sebelah timur sekolah kami. Untungnya, ini bukan bulan puasa. Biasanya, kalau ramadhan tiba alun-alun berbentuk persegi panjang seluas 4 hektar itu banyak dikunjungi pasangan muda-mudi dan keluarga. Berjubel hingga menyulitkan kendaraan untuk lewat.
Hari ini agak lenggang. Siang yang terasa sunyi ini memang aku siapkan untuk ngobrol bersama Wimas, bersenda gurau dengan sahabatku yang paling sering berselisih. Di sini pulalah aku menjadikan alun-alun sebagai rumah ketiga. Rumah pertamaku adalah milik orang tua, yang kedua stasiun Kereta Api Serang sekaligus medan perjuangan saat dulu menjual es mambo.
Di alun-alun ini aku sering sekali bermalam dan tidur hanya beralas sebelah lengan. Kadang bersama teman-teman dan tak jarang pula sendiri.
“ Halo sahabat ! Apa kabar hari ini ? “ sapaku sambil memeluk Wimas.
“ Baik sekali, “ Wimas mendekapkan erat tubuhnya. 10 detik kemudian baru ia melepaskan dekapannya.
“ Alhamdulillah, “ aku senang jika Wimas mengatakan demikian.
“ Bagaimana liburan kau ? “ dia tak balik bertanya perihal kabarku. Wimas malah ingin tahu aktifitasku selama tak masuk sekolah.
“ Seru sekali, aku dan Solomon bersepeda ke Anyer. ” aku sengaja tak mengajak Wimas, karena memang aku ingin lebih fokus bercerita secara personel, tidak masal. Cerita soal keinginan dan obsesiku bersepeda melanglang buana.