Lebih jelasnya, dia mencontohkan lukisan pemandangan S. Sudjojono, padahal S. Sudjojono tak pernah membuat lukisan tersebut. Itu sebabnya, masih menurut Wahyudin, terbilang sulit untuk membuktikan perkara “plagiarisme” dengan perspektif “asli”-“palsu”.
Baca Juga: Jago Deepfake, Ini Penampakan Pria Dibalik Tom Cruise Palsu yang Heboh di TikTok
"Apalagi, dalam seni rupa kontemporer, ada sebuah metode artistik yang memungkinkan seorang seniman 'mencuri' bentuk, teknik, dan ide karya seniman lainnya, yaitu apropriasi," jelasnya.
Dengan kata lain, apropriasi adalah plagiarisme yang sah. Karena itu, mempermasalahkannya akan dianggap sebagai tindakan menggelikan, kalau bukan konyol namanya.
Biar lebih paham, sebutlah, misalnya, lukisan Mona Lisa Leonardo da Vinci dari abad ke-16.
Entah sudah berapa banyak seniman yang mengapropriasinya. Di antaranya yang paling terkenal adalah Marcel Duchamp.
Pada tahun 1919, Duchamp mengapropriasi lukisan Mona Lisa dengan menambahkan kumis dan jenggot tipis sebagai elemen parodi (Gambar kanan).
Yang mencengangkan, lukisan berjudul L.H.O.O.Q Mona Lisa with Moustache itu terjual di Paris dengan harga fantastis, Rp 10 Miliar.
Adakah yang menuduh Duchamp melakukan plagiarisme atas Da Vinci? Nggak ada!
Nah audaj tahu negitu, dari sanalah nggak sedikit seniman di Indonesia yang juga mempraktikkan apropriasi dalam proses kreatif mereka.
Baca Juga: Resso Siap Bantu Karier Musisi Baru Lewat Program RessoVersary