Follow Us

Sejarah Labuan Bajo: Dari Nama, Pesona Komodo, Sampai Pasir Warna Putih dan Pink!

Alvin Bahar - Jumat, 04 Desember 2020 | 23:37
Salah satu lanskap hunian wilayah pesisir Kampung Air dan Kampung Baru, Labuan Bajo.
Sigit Pamungkas

Salah satu lanskap hunian wilayah pesisir Kampung Air dan Kampung Baru, Labuan Bajo.

Pada 1823 terdapat Bajak lau Illano, Sulu, Bajo, dan Tobelo yang mulai menyerbu ke pesisir Manggarai bagian utara. Para bajak laut mendirikan pangkalan di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Kawasan ini merupakan kawasan strategis untuk mencegat pelayaran di bagian selatan Selatan Makasar.

Pangkalan Pulau Laut ini jadi tempat bertolak untuk menjelajah Laut Flores dan Laut Jawa. Pulau Laut juga jadi pangkalan tempat transit perdagangan budak. Kawasan Laut Flores pun terdapat pangkalan bajak laut seprti di Tanah Jampe, Kalao(toa), dan Bonerate.

Juga Pulau Riung di lepas pantai utara Flores Barat (Manggarai), merupakan pusat perompak Mangindano, balangingi, dan Tobelo. Maka tak heran, terdapat sebutan ‘Laboean Badjak’ Labuan Bajak, alias tempat berlabuhnya bajak laut.

Tak berhenti sampai di situ, Labuan Bajo pada awal abad 20 ternyata memiliki beberapa keistimewaan sebagai salah satu daerah penghasil teripang terbaik di wilayah Timor seperti yang tercatat dalam Gids voor den Bezoeken van de Indische Tentoonstelling in het Stedilijk Museum te Amsterdam 1901. Kabarnya, pada masa itu suku Bajo banyak berburu teripang hingga pantai utara Australia. Pada 1902 muncul kampung muslim (Islam) dengan beberapa rumah diduga terletak di wilayah yang sekarang disebut Kampung Ujung (dahulu bernama Cempah). Kampung Cempah merupakan toponimi yang berarti kampung (dengan) pohon asam (cempah dalam Bahasa Bajo).

Baca Juga: Hari Ini Mulan Tayang Perdana, Para Penggemar Siap Disuguhkan Dalam Dua Bahasa

Selain itu, Labuan Bajo pada antara 1902 hingga 1920 jadi sentra produksi alami mutiara laut. Perusahaan perhiasan Moreaux dari Perancis bahkan mulai memanen mutiara laut Labuan Bajo sejak 1910. Namun sejatinya pengambilan mutiara di Labuan Bajo telah marak sejak abad ke-19, bahkan Sultan Bima pun mendapat royalti dari penjualan mutiara masa itu sampai 1929 ketika Sultan Bima melepaskan kekuasaannya atas Manggarai.

Pada 1904 terbentuklah komunitas penganut agama Katolik di Labuan Bajo yang berjumlah 99 orang, 70 orang berasal dari Larantuka berprofesi sebagai mengambil mutiara laut. Labuan Bajo semakin ramai, hubungan laut Makassar – Labuan Bajo pun semakin lancar dengan adanya jadwal kapal besar pengangkut penumpang sebanyak 4 kali dalam satu minggu mulai tahun 1905.

Tahun 1907, Flores bagian barat secara administratif dikuasai oleh pemerintah Belanda. Semenjak itu kegiatan pemerintah Hindia Belanda dan misionaris pun berkembang di Manggarai. Sampai pada 1910, Letnan Steyn van Hens Broek yang mencoba membuktikan laporan pasukan Belanda tentang adanya hewan besar menyerupai naga di pulau tersebut.

Pasca invasi Jepang, catatan kisah tentang Labuan Bajo seolah terhenti. Ingatan warga seniorlah yang kemudian muncul dalam bentuk mozaik narasi sejarah kota di pesisir barat Flores. Haji Syuting salah satu warga Kampung Air yang bercerita tentang perkembangan kampung pesisir Labuan Bajo yaitu Kampung Ujung, Kampung Tengah, Kampung Air.

“Kampung Ujung itu dulu namanya Kampung Cempah. Cempah itu Bahasa Bajo, artinya pohon asam. Dulu warga di Kampung Air ini pindahan dari sana. Tahun 1973 disuruh bongkar semua. Itu masa Gubernur Ben Boi, mau dibangun dermaga pelabuhan. Kami bakar itu rumah-rumah kayu, pindah ke sini,”ujar Haji Muhammad Syuting

Lelaki itu pernah jadi kepala lingkungan kampungnya pada 1978-1999. Pria berdarah Bugis ini lahir di Bone tahun 1950. Dia mengaku tiba di Labuan Bajo dengan kapal bersama keluarga pada usianya yang ketujuh. Pada era tersebut banyak warga Makassar Wajo Bone migrasi ke Labuan Bajo akibat terjadinya Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar antara 1950-1965.

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest