Oo aa ee ii dee, Si li nan ga mbom badjo to e be ti toe ka ge toe ka gee!
Toe ka toe ka goo, aa ee aa be ti, ma lon tee kaa gee
(Dalam perjalanan ke Labuan Bajo, perutku tak pernah kurasa sesakit ini. Aduh perutku, aduh perutku)
HAI-ONLINE.COM — Kata-kata yang lo baca di atas adalah penggalan syair lagu rakyat Manggarai Barat yang didokumentasikan oleh seorang Pastor SVD yang bernama Piet Heerkens dalam bukunya yang berjudul Flores Manggarai yang terbit pada 1930.
Keseluruhan syair lagu tersebut menceritakan mengenai Rado Sawi Ndao yang ditelan ‘Mpo’ atau buaya dan masuk ke perut buaya itu. Dengan menggunakan pisaunya, Rado Sawi Ndao menggelitiki perut buaya besar yang berenang di laut ke beberapa daerah seperti Mborong, Reok, dan Labuan Bajo sampai akhirnya Rado Sawi Ndao keluar dari perut buaya.
Yap, kalo lo baca dengan detil, sepotong syair itu merekam penggunaan kata ‘Labuan Bajo’ pada tahun 1930.
Melacak sejarah penggunaan kata ‘Labuan Bajo’ nggak akan lepas dari menelisik sejarah kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat sekaligus Flores – sebuah pulau yang dinamai Cabo de Flores. Nama Flores berasal dari bahasa Portugis yaitu Cabo de Flores yang berarti “Tanjung Bunga”.
Nama tersebut semula diberikan oleh S.M. Cabot untuk menyebut wilayah timur dari Pulau Flores. Akhirnya di pakai secara resmi sejak 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Sebuah studi yang cukup mendalam oleh Orinbao pada 1969, mengungkapkan bahwa nama asli sebenarnya pulau Flores adalah Nusa Nipa (pulau ular) yang dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural, dan tradisi ritual masyarakat Flores. Sejarah mencatat Flores-Sumba-Timor sebagai penghasil cendana wangi terbaik di dunia terutama pada abad ke-3 sampai abad ke-18.
Baca Juga: The Wonder Years Rilis Lagu Baru 'Out On My Feet', Masih Pop Punk Nggak Nih?
Sejauh ini, nama Labuan Bajo tercatat dalam laporan Jacques Nicolas Vosmaer dalam laporan Koloniale Jaarboeken Maandschrift tot Verspreiding van Kennis der Nederlandsche en Buitenlandsche Overzeesche Bezittingen pada 1862 yang menyebutkan bahwa dalam artikel tahun 1833 dilaporkan sebuah perjalanan laut menuju 'Laboean Badjo'. Belum ditemukan catatan Belanda yang lebih tua dari karya tersebut yang mencantumkan kata ‘Laboean Badjo’ atau Labuan Bajo.
Labuan Bajo memiliki makna ‘tempat berlabuhnya suku Bajo’ demikian menurut sejumlah warga dan tokoh masyarakat di Labuan Bajo.
Haji Sahamad salah satunya.
“Tempat pendaratan orang-orang Bajo di wilayah Manggarai ini,” ujar sosok keturunan Bajo yang dituakan oleh masyarakat suku Bajo Bugis Bima di Kampung Cempa (Kampung Ujung), Kampung Tengah dan Kampung Air, Labuan Bajo.
“Yang saya ingat dulu ada punggawa atau bangsawan Bajo di sini, karena itu kakek dan leluhur saya,” jelas Sahamad.
Dia pernah menerbitkan kamus empat bahasa yaitu: Bajo, Bugis, Bima, dan Inggris sebagai buah kerja samanya dengan salah satu pastor Katolik dari Belanda beberapa belas tahun silam.
Penyebutan Labuan Bajo semakin intensif terekam dalam catatan Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terlebih lagi sejak masa misionaris Katolik mulai bergiat di Flores. Namun, terdapat penyebutan ‘Laboean Badjak’ pada peta Flores kuna bertarikh 1874 dibuat oleh J.G. Veth dan diterbitkan di Amsterdam. Mengapa?
Baca Juga: New Found Glory Rilis Single Baru Berjudul 'December's Here'
Hal ini dapat kita kaitkan dengan sejarah panjang keberadaan Kerajaan Gowa Tallo di Sulawesi Selatan dan Suku Bajo. Kerajaan Gowa berdiri pada tahun 1300, sejak awal kerajaan tersebut melebarkan pengaruhnya dengan menggunakan pasukan armada laut. Hubungan Kerajaan Gowa meliputi Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Sumbawa, Flores, Timor, Maluku, Papua, dan Australia bagian utara.
Hubungan tersebut semakin intensif dipererat pada masa Raja Tunibatta (Gowa) mengirim utusan untuk menjalin hubungan dengan Sumbawa, Sumba, Timor, Flores, Maluku pada tahun 1565. Pada tahun 1626, Kerajaan Gowa menguasai pulau Flores, khususnya Flores Barat, Solor, dan Alor. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan usaha Portugis dan VOC memperluas wilayah kekuasaan di Nusantara.
Penulis | : | Alvin Bahar |
Editor | : | Alvin Bahar |
KOMENTAR