Follow Us

Perjuangan 5 Anak Muda yang Membawa Band Luar Negeri ke Indonesia: Rugi Itu Udah Kodrat

Fadli Adzani - Sabtu, 23 Maret 2019 | 12:30
Para promotor musik muda: Gerhana, Noval, Argia, Kenneth, dan Dega.
HAI

Para promotor musik muda: Gerhana, Noval, Argia, Kenneth, dan Dega.

HAI-ONLINE.COM - Di balik kegembiraan kamu menonton konser band luar negeri di Indonesia, ada anak-anak muda yang berjuang untuk mendatangkan mereka dan mempersiapkan tempat penginapan, konsumsi, hingga dana.

Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki inisiatif untuk menjadi promotor musik agar bisa melihat teman-temannya senang ketika kampung halamannya kedatangan band-band keren.

Bukan hal yang mudah, lho, untuk menjadi promotor. Mulai dari meyakinkan sponsor untuk mau mengucurkan dana demi berjalannya sebuah gigs atau konser, mencari tahu harga dari sebuah band, hingga mempersiapkan konsep panggung yang bisa dinikmati oleh musisi dan juga penontonnya.

Baca Juga : Tanggapi Aksi Blundernya, Thibaut Courtois: Aku Tetap Salah Satu Kiper Terbaik!

Di The Sounds Project Vol. 4 kemarin, ada 5 anak muda yang merupakan promotor musik yang datang dan berbagi tentang pengalaman mereka dalam meniti karier di dunia itu.

Mereka adalah Gerhana Banyubiru (The Sounds Project), Novaldi Alghani (Magical Feeeling), Argia Adhindhanendra (Noisewhore), Kenneth Ibrahim (9th Music Gallery) dan Xandega Tahajuansya (Studiorama).

Mereka berbagi tips dan trik, hingga curhat terkait serunya menjadi promotor musik dari band-band indie di ibu kota dan beberapa tempat lain di Indonesia.

Rata-rata, mereka mulai meniti karier di dunia promotor sejak masih ngampus. Ada yang "bersekongkol" dengan teman sekelasnya, ada juga yang berkerjasama dengan teman-teman gigs-nya.

Mulai dari Gerhana, yang curhat bagaimana dirinya bisa menciptakan The Sounds Project dari kampus Gunadarma.

"Gue ketemu temen-temen, cuma 4 orang. Nekat aja awalnya, nggak pernah kepikiran bakal bisa ngundang band luar negeri ke sini. Gue udah terlanjur nyebur ke ranah ini, makin ke sini, semesta mendukung aja gitu," ujarnya.

Baca Juga : Cerita Hayley Williams yang Sempat Alami Depresi dan Pernah Dijuluki Batwoman

Dia juga curhat bagaimana sulitnya meyakinkan sponsor untuk mendanai acara musik anak kampus yang saat itu mungkin belum ada pengalaman.

"Gue pernah nunggu ketemuan sama sponsor hampir 3 jam, ujung-ujungnya nggak jadi ketemu, dijadwal ulang. Terus pernah juga pake uang pribadi. Gue percaya kalau pengorbanan gue harus diteruskan, kalau lo udah nyebur, ya basah aja sekalian," lanjutnya.

Kemudian ada Kenneth Ibrahim, yang bercerita kalau Music Gallery, sejak awal dibuat, visi misinya ialah untuk memberi panggung untuk band-band indie bertalenta yang masih kurang eksposurnya.

Kalau Novaldi dari Magical Feeeling, ia mengaku sering datang ke acara Noisewhore. Ia kemudian terinspirasi untuk mengundang band-band luar juga.

Beberapa waktu lagi, fyi aja, nih, Wild Nothing bakal datang ke Jakarta, konsernya sendiri dipromotori oleh Magical Feeeling.

"Pada awal dibuatnya, Magical Feeeling nggak punya akses ke mana-mana. Gue cuma bermodalkan suka musik dan suka nonton gigs," katanya.

Baca Juga : Bau Saus Seafood Busuk Jadi 'Santapan' Sehari-hari Warga Kota Ini Selama 17 Tahun

Kemudian ada Argia, yang mengembangkan Noisewhore dari awalnya zine menjadi sebuah promotor musik yang berhasil membawa banyak band-band luar ke Jakarta.

Sebut saja Unknown Mortal Orchestra, Mitski, Snailmail, Cosmo Pyke, Sunset Rollercoaster, dan lain-lain pernah dibawa Noisewhore ke ibukota.

"Udah kodratnya kita rugi, gimana caranya aja kita nutupnya," tutur Argia membahas masalah budgeting ketika mengadakan konser.

Hal-hal seperti inilah yang kemudian patut kita acungi jempol dan apresiasi. Atas nama hobi, mereka mau mengeluarkan uang sendiri demi mengundang band yang mereka suka. Alhasil, orang lain yang nge-fans pun juga bahagia.

Terakhir ada Dega dengan Studiorama. Studiorama menjadi salah satu promotor musik yang suka mengenalkan band-band indie lokal. Sebut saja Sigmun, panggung pertamanya merupakan buatan Studiorama pada 2011 silam.

Baca Juga : Beneran Nggak ya? kata Fan Theory Ini Goose Bisa Liat Masa Depan!

"Pada 2011, dikit banget wadah untuk emerging artisnya. Kalau sekarang, di Jakarta ada band indie main, sehari ada 3 acara, rame semua. Kalau 2011, acara sebulan sekali, paling rame cuma 100 orang," katanya.

Dega bersama dengan kawan-kawannya di Studiorama ingin kalau skena musik di Indonesia dilihat juga oleh dunia internasional.

"Kita ingin Indonesia harum dan enak di dengar di telinga."

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest