Perantau yang Pandai Memasak
Asnan juga memperkirakan rendang mudah menyebar karena laki-laki Minang piawai memasak. Umumnya para perantau adalah laki-laki.
“Semua orang laki-laki Minang itu pandai memasak dan umumnya perantau itu kan laki-laki semuanya dan mereka pandai memasak. Jadi kalau di Minang, ada kenduri yang masak laki-laki. kalau anak-anak muda yang tinggal di surau, biasanya setelah akil baliq itu tinggal di surau, itu rata-rata pandai masak semua,” ungkap Asnan.
Oleh karena itu, Asnan memperkirakan bahwa para perantau nggak canggung memasak. Sehingga saat bekal mereka habis, para perantau ini bisa masak lagi rendang dan dendeng seperti biasa mereka buat saat di tanah kelahiran. “Apalagi di negeri jiran, kelapa dan bahan bumbu itu semua ada. Itu nggak aneh bagi mereka untuk bikin rendang lagi,” katanya.Lalu, bagaimana dengan zaman sekarang? Menurut Asnan, saat ini sudah mudah membeli rendang. Ia mengaku para mahasiswa yang ia ajarkan sudah nggak masak karena kemudahan membeli makanan. “Rata-rata mereka bahkan nggak masak lagi. Mereka beli aja, masak nasi saja dan sambal gulainya beli,” katanya.
Tradisi membekali perantau dengan rendang pun menurut Asnan sudah mulai pupus. “Sekarang kalau saya dengar cerita mahasiswa, mereka jarang dibekali dari kampung, karena di kota dan perantauan sudah banyak yang jual,” katanya.
Berbeda dengan saat ia masih kuliah di Universitas Andalas, Padang. Setiap bulan, ia pulang kampung ke Lubuk Sikamping di Pasaman Barat. Asnan mengingat orangtuanya pasti membekali rendang tiap ia harus balik ke Padang.
“Dalam setahun lebih sering dikasih rendang daripada makanan lain oleh orang tua. Rendang bisa tahan 3-4 hari atau lebih. Jadi, bekal selama di Padang aman. Saya hemat pengeluaran juga," ungkapnya.
Ia menuturkan bahwa pengalamannya ini juga muncul di cerita-cerita dan novel Melayu bahwa orang Minang yang merantau pasti dibekali rendang oleh orangtuanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com. Baca artikel sumber.