”Awalnya, pelanggan warung minang itu orang Minang saja. Pemiliknya sudah pasti orang Minang sebab warung sekaligus jadi tempat menampung sesama perantau. Lama-kelamaan, warung minang berkembang seperti sekarang,” ujar sejarawan Muhammad Nur dari Universitas Andalas, seperti termuat dalam artikel tersebut.Sebagian rumah makan minang di luar negeri juga berkembang seiring membesarnya jumlah perantau Indonesia.
Sementara itu, menurut Fadly, popularitas rendang baru meningkat pada abad ke-20. Ia mengakui nggak mendapati resep rendang pada literatur buku masak di Indonesia pada abad pertengahan sampai akhir abad ke-19.“Karena memang saat itu popularitas rendang belum semasif penyebarannya dan diaspora periode abad ke-20. Namun, berkat para perantau yang melalukan perantauan ke berbagai wilayah di Jawa dan wilayah Indonesia dan Malaysia juga, akhirnya rendang mengalami diaspora,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa orang-orang Minang perantauan ketika menetap di salah satu wilayah, salah satu trennya adalah membuat rumah makan Minang atau lepau (kedai nasi).
“Catatan atau dokumentasi tertulis dibuat para sejarawan, bahwa di Batavia banyak rumah makan Minang yang sudah sangat khas sekali jadi bagian dari kawasan urban di Batavia dan kota-kota lain termasuk juga di Bandung,” katanya.
Berkat mereka, lanjutnya, popularitas rendang jadi naik daun. Para perantau mengenalkan rendang melalui rumah makan yang mereka dirikan dan akhirnya rendang dikenal masyarakat kebanyakan.
“Makanya pada awal abad 20, rendang mulai masuk ke beberapa buku masak. Dari semula makanan untuk bekal para perantau jadi signature dish-nya kuliner Minang,” tambah Fadly.
Artikel terkait: Mengenal Kuliner Khas Sumatera Barat
Resep rendang hadir di buku masak berbahasa Melayu dan buku masak daerah lainnya seperti Sunda dan Jawa, bahkan juga buku berbahasa Belanda. Salah satunya seperti buku masak karya S. Noer Zainoe’ddin Moro yang terbit pada tahun 1939 bertajuk Lingkoengan Dapoer: Boekoe Masak bagi Meisjes-Vervolgsholen jang Berbahasa Melajoe.
Dalam buku masak itu terdapat resep dari Padang, salah satunya adalah resep rendang Padang. Hal ini diperkirakan dapat mendorong pembaca yang berada dari wilayah manapun untuk bisa membuat rendang sendiri.
Fadly dalam bukunya, memandang bahwa hal ini merupakan terobosan baru dalam dunia buku masak di Hindia Belanda, mengingat masa-masa sebelumnya resep rendang masih cukup langsa kecuali dalam catatan-catatan resep pribadi.
Media massa juga berperan dalam menyebarkan popularitas rendang, seperti yang dilakukan Soenting Melajoe. Dalam bukunya, Fadly menyebutkan surat kabar Soenting Melajoe yang berdiri pada 1912 oleh pers perempuan di Sumatera Barat, surat kabar itu dibaca para perantau Minang di luar Minangkabau. Isinya memuat berbagai informasi seputar aktivitas perempuan, salah satunya menu-menu resepsi dan resep masakan yang jarang didapat dalam buku masak di Jawa.