Follow Us

Sejarah Panjang Masuknya Musik Metal ke Jakarta, Mulai dari Apotek hingga ke Pub!

Fadli Adzani - Jumat, 09 Maret 2018 | 01:00
Anak Metal
Fadli Adzani

Anak Metal

Roxx tentunya juga awalnya muncul sebagai band cover yang sangat update. Mereka kadung dicap sebagai band tribute Metallica dan Anthrax. Kala itu, Roxx adalah Trison Manurung (vokal), Iwan Achtandi (gitar), Jaya (gitar), Didik Sugianto (bas), dan Arry Yanuar (drum). Trison sempat gabung sama Edane di tahun 2000, kemudian balik lagi ke Roxx. Sementara Arry meninggal pada tahun 1999.

Bareng mereka, ada pula band Razzle yang sering membawakan lagu-lagu Guns N Roses, Sucker Head (Kreator dan Sepultura), Commotion of Resources (Exodus), Parau (DRI, MOD, AMQA). Band-band ini kerap muncul sebagai show pamungkas di sebuah festival band atau kompetisi band pelajar.

Tentunya, para penggemar musik ini, biasanya berkostum T-shirt hitam, sudah mulai berkerumun di depan panggung nungguin lagu yang enak buat dibikin pecah. Pokoknya tiap lagu Extreme Aggression-nya Kreator, Seek and Destroy-nya Metallica atau Bowling Ball-nya AMQA berkumandang di pentas, area depan panggung udah kayak puting beliung. Penonton ber-slam dancing, head banging, sampai stage diving. Nah, kalo udah kayak gini, biasanya para cewek minggir tuh, dan aparat bersiap siaga.

“Kami nggak menikmati musik mainstream saat itu . Kayak Nicky Astria, Anggun C. Sasmi, menurut kami kurang asik, kurang kenceng. Sampai akhirnya kami ngeliat album milik band AMQA (Apple Maggot Quarantine Area),” kisah Haryo Pramoe, drummer Parau.

Cowok yang sekarang terkenal sebagai Chef ini masih ingat betapa lagu Bowling Ball yang ada di album berjudul Mutant Cats From Hell milik AMQA itu bisa membuat massa penonton menjadi liar. Tentunya, karena Parau adalah spesialis band tribute AMQA, lagu itu sering jadi andalan saban manggung.

Semua penonton tau lagu itu, karena referensinya sama. Apalagi kalo bukan berburu kaset impor gelap dari Malaysia. “Bangga banget kalo punya kaset yang ada tulisan SDN.BHD (istilah PT, Perseroan Terbatas, dalam bahasa Malaysia, RED). Artinya kaset itu dari Malaysia yang casing-nya warna putih,” kenang Iwan AS, sang gitaris.

Iwan masih ingat gimana ia meyakinkan teman-teman sebandnya untuk manjadikan Bowling Ball sebagai anthem band ini. “Gue bilang waktu itu ke band, kita bawain lagu ini aja! Gampang, tapi asik!,” ujar Iwan AS, vokalis merangkap gitaris yang baru bergabung di Parau tahun 1989.

Di era itu, metal menjadi sesuatu yang fresh di Indonesia, khususnya Jakarta. Karena ritem-ritemnya bersuara garang, sementara ketukan drumnya seolah berlomba-lomba dengan raungan gitar. Dan vokalnya punya range dan warna yang lebih luas. Mulai dari menggeram, berteriak seperti orang bentak-bentak sampai growl yang nggak jelas lagi nyanyian liriknya.

“Ada semacam pemahaman baru waktu itu yang kami rasain. Pertama, vokalis band musik cadas ternyata nggak perlu melengking juga bisa asik. Kedua, vokal teriak-teriak dan nggak bernada juga bisa enak didengar, contohnya kayak karakter vokal James Hetfield-nya Metallica. Terakhir, lagu dengan ritem-ritem cepat juga bisa dijual,” tutur Jaya yang akrab dipanggil Abah ini panjang lebar.

Bagi Roxx yang pada tahun 1989 keluar sebagai juara II Festival Rock se-Indonesia V garapan Log Zhelebour di Surabaya, teknik bermain musik seperti itu mungkin bisa dianggap sebagai having fun aja. Tapi bagi penonton, aksi mereka udah kayak menyaksikan Metallica secara langsung di depan mata. Dan itu berlaku juga buat band lain.

“Senang aja rasanya ngeliat kami diterima sampai seperti itu meskipun nggak ada penonton cewek yang nunjukkin to*etnya ke kita kayak di konser grup rock bule,” gurau Jaya terkekeh.

“Bagusnya kami semua emang merasa senasib, karena musik kami dianggap rusuh, nongkrong bareng, punya fans bareng, jadi besar di panggung bareng, padahal waktu itu (di akhir tahun 80-an) bisa dibilang nggak ada karya yang kami buat,” lanjut Iwan AS.

Editor : Fadli Adzani

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest