Follow Us

Sempat Dikira Akan Punah, Masa Depan Hobi Fotografi Analog Kini Terlihat Cerah

Rizki Ramadan - Kamis, 25 Mei 2017 | 08:07
Renaldy Fernando Kusuma, salah satu pehobi fotografi analog yang mendirikan penyedia kebutuhan analog, Jellyplayground (foto: Riomanadona)
Rizki Ramadan

Renaldy Fernando Kusuma, salah satu pehobi fotografi analog yang mendirikan penyedia kebutuhan analog, Jellyplayground (foto: Riomanadona)

Ya, kamu memang nggak sering menggunakan analog di masa kecilnya. Tapi, kamu pasti pernah menonton film berlatar jadul yang tokoh-tokohnya menggunakan kamera film. Kamu juga pernah melihat kamera-kamera analog di berbagai media lainnya.

Selain itu, budaya slow living juga turut memicu tren analog. Digitalisasi teknologi, menurut Justitio, membuat manusia hidup di alam yang serba cepat, serba ringkas. Semua bisa bekerja tanpa proses yang bisa kita hayati.

“Ini membuat slowness jadi punya pasar. Sebagai pengisi waktu luang dan untuk bersenang-senang, slowness dari kamera analog—sama kayak ribetnya perangkat musik retro macam vinyl dan kaset—membuat mereka bisa memiliki jeda dari kecepatan yang ditawarkan dunia digital,” tukas dosen muda 27 tahun ini.

Booming mulai 2008, Menurun di 2012, Meningkat Lagi Setelah Ada Instagram.

Kalau ditilik sejarahnya, tren fotografi analog di era digital ini mulai hidup lagi dari mati surinya pada 2007. Bahasan tentang kamera analog bukan lagi cuma rame di kalangan mahasiswa anggota UKM fotografi saja tetapi juga heboh di forum-forum dunia maya.

Tommy Armansyah adalah satu pehobi analog dari masa awal kebangkitannya itu. “Di masa itu, banyak pemilik kamera analog yang pindah ke digital. Kamera analognya dijual-jualin. Nah, di satu sisi ada anak muda yang mau foto tapi nggak punya banyak uang, jadi cari analog karena lebih murah. Modal Rp 200 ribu saja dapet kamera. Film pun cuma Rp 10.000- Rp 15.000. Harga cuci Rp 9.000-15.000,” kenang Tommy.

Awalnya, Tommy beranalog ria karena “diracuni” temen-temen yang ia kenal di forum Fotografer.net. “Tapi temen gue itu malah udah berhenti. Gue nih yang jadi ketagihan sampe sekarang,” kata pekerja divisi legal di sebuah bank yang ngoleksi 250 kamera analog dan 17 diantaranya adalah Leica.

Di masa itu, Tommy juga banyak berkenalan dengan pehobi analog baru dari berbagai tempat. Ada yang kenal saat di tempat loak kamera di Kebayoran Lama, banyak juga yang kenal dari forum Warung Ngumpul Penggemar Kamera Analog di Kaskus. Tommy kemudian menjadi salah satu penggawa forum itu.

Di kalangan anak muda, saat itu merk kamera Lomography yang juga ngehip turut memicu pencarian kamera-kamera unik dan retro lainnya. Pada 2008, berdirinya komunitas pencinta kamera analog jenis toycam, Klastic, bisa dibilang sebagai titik penting tren analog. Jumlah anggotanya ratusan dan terdapat cabang-cabangnya di sejumlah kota lain. Mereka rutin hunting bersama dan kerap menggelar pameran foto analog juga.

“Puncaknya tren analog tuh tahun 2010, terus menurun sebentar,” tukas Enad yang sempat dua tahun menjadi ketua Klastic.

Tren terus meningkat hingga pada kira-kira tahun 2012 harga-harga film meningkat. Kodak Colorplus misalnya, sebelumnya bisa didapat dengan harga Rp 15.000, saat itu naik menjadi Rp 25.000, lalu Rp 35.000, dan sekarang ini pasarannya Rp 55.000. Film hitam putih merk Lucky SHD 100 yang awalnya Rp 9.000- Rp 10.000 pun melonjak hingga Rp 50.000. Nggak sedikit juga tuh film yang harganya di atas Rp 100.000.

Kenaikan harga film ini juga diiringi dengan kabar nggak enak dari industri. Pada 2012 Fujifilm berhenti merilis Fuji Neopan, Kodak berhenti memproduksi Kodak BW300CN dan Kodak Ektachrome. Beberapa lab lama pun kehabisan stok film untuk dijual dan kualitas proses cuci cetaknya menurun.

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest