Untungnya, keadaan itu nggak berlangsung lama. Sejumlah anak muda pehobi analog dari gelombang pertama maju. Eka Raspratama yang dulunya suka ngulik kamera kini membuka lapak kamera analog Main Kamera di Pasar Baru, Enad kian memperbesar Jelly Playground, lini usahamerchandisedan media komunitas analognya; dan Fajar Hidayat, pegiat analog dari Bandung yang saat 2008 dulu mulai tertarik mempelajari segala proses foto analog sejak 2012 ini mendirikan Hipercat Lab yang menerima jasa cuci film, baik film BW, color atau pun film slide.
Geliat fotografi analog makin menjadi-jadi sejalan dengan makin hitsnya Instagram. Banyak kawula Instagram yang menyukai foto-foto yang ternyata punya karakter warna yang khas tanpa diedit sedikitpun. Coba saja cek tagar #indo35mm di Instagram yang digagas Jelly Playground, saat tulisan ini dibuat, udah ada 113.870 foto analog dari nusantara.
Fajar cerita, setahun terakhir ini, dalam sebulan ia bisa menerima sedikitnya 300 rol film untuk dicuci. Bahkan ada pelanggannya yang sekali kirim film bisa 10 hingga 50 film sekaligus.
Tren lokal ini ternyata sejalan dengan tren di seluruh dunia. Di penghujung 2014, Ilford Photo melakukan survei ke 1000 konsumennya dari 70 negara. Penelitian itu menunjukkan bahwa 30% dari pengguna kamera analog adalah mereka yang masih di bawah 35 tahun, 60 persen dari konsumer muda itu baru menggunakan kamera analog nggak lebih dari lima tahun.
Sebanyak 84 persen dari responden mengaku mempelajari kamera analog secara otodidak dengan bantuan buku dan internet. Ada 49 persen yang mencuci cetak filmnya sendiri di kamar gelap.
Habit Pengguna Berubah
Sebagai pemain lama, Enad dan Fajar menangkap perubahan habit para pehobi analog sekarang dan masa satu dekade lalu. Dugaannya, para pehobi baru mengetahui asiknya analog itu dari Instagram saja, dan beranalog untuk sekedar mendapat foto untuk di-post ke Instagram saja.
“Anak analog jaman sekarang mah beda. Banyak yang cuci film di gue nggak pada minta klise negatifnya. Cukup dikirimi hasil scan-nya saja. Kalau anak-anak dulu kan klisenya disimpen rapi, tuh,” cerita Fajar tentang habit pelanggannya. Bahkan Enad cerita ada pelanggannya yang nggak tau bahwa setelah film dicuci hasilnya bukan cuma foto hasil scan tetapi ada klisenya juga.
“Pehobi baru sekarang ini banyak yang lebih suka nanya, nguliknya kurang. Mau pake analog tapi nggak mau repot,” tukas Enad, “Dan kalau pehobi baru sekarang ini lebih nggak mikir duit. Gampang banget beli film. Kalau dulu kan, beli film Rp 15.000 aja mikir dulu, jadinya beli yang Superia aja yang masih Rp 12 ribu. Hehe.”
Industri Hidup Lagi, Masa Depan Fotografi Analog Cerah Lagi.
Evolusi teknologi di ranah fotografi memang terjadi, para perusahaan besar di industrinya pun gencar banget mengeluarkan inovasi-inovasi baru. Tapi, nggak selamanya evolusi itu membuat teknologi lama punah. Kalau ngeliat geliatnya yang terus meningkat, para pehobi akan bergerak agar fotografi analog bisa terus hadir di masa depan.
Lab-lab indie akan semakin besar. Sejak 2015 pun kita sudah punya Soup n Film, lab cuci professional yang salah satunya didirikan Tompi. Lab indie HipercatLab yang diasuh Fajar pun sedang direncanakan pengembangannya.