Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Wawancara Haikal Azizi Tentang Asal-mula Bin Idris

Rizki Ramadan - Senin, 20 Maret 2017 | 07:30
Bin Idris
Rizki Ramadan

Bin Idris

Sebagai penikmat lantunan Bin Idris, saya menyempatkan diri untuk bertandang ke RRREC Fest di Jumat malam 24 Februari 2017 lalu untuk menonton aksi musisi yang juga menjadi frontman pada band heavy rock Sigmun tersebut secara langsung di atas panggung. Mendengarkan 11 lagu yang disuguhkan dalam album Bin Idris (2016) rasanya seperti merasakan sisi pribadi musikalitas Haikal Azizi yang menjadi antitesis dari apa yang dibawakannya di Sigmun.

Pada album yang kerap dinobatkan sebagai salah satu album musik terbaik 2016 ini, kita akan mendengar untaian perspektif personal Haikal yang dibalut dengan dinamika nan gurih pada alur musiknya, dari mulai blues, gospel, ambient, hingga psychadelic. Gue pun menyempatkan diri berbincang dengan Bin Idris seturunnya dia dari panggung. Mari disimak.

Coba, dong, ceritain soal proses penggarapan album Bin Idris ini.

Prosenya sederhana sebenernya, karena semuanya gue kerjain sendirian di dalam kamar. Materi-materi yang udah gue buat dari dulu dan sempat mengendap itu akhirnya gue olah lagi. Setelah rilis Sigmun tahun sebelumnya, gue pengen nyoba Bin Idris buat ngerilis album juga. Jadi gue keluarin aja materi-materi yang udah disimpen itu, gue bikin lirik. Prosesnya nggak teralu spesial kok.

Lo mulai kepikiran buat bikin solo project ini kapan?

Sejak dulu, dari kecil juga udah kepikiran buat bikin solo project kali ya, haha. Spesifiknya sejak gue bikin lagu, tapi sampai ada nama Bin Idris tuh kira-kira 2012. Alasannya sederhana, waktu itu Sigmun lagi ngerjain Cerebro. Nah, karena di situ gue baru ngerti home recording, akhirnya gue ngulik-ngulik nyobain.

Gue pake nama Bin Idris karena kalo pake nama sendiri kurang asik, sih. Ternyata setelah dicoba, gue menikmati prosesnya. Awalnya iseng-iseng aja. Tiap muncul materi, langsung gue upload di Soundcloud, lalu gue ngerasa “kayaknya perlu nih ngerilis dalam bentuk satu album,” akhirnya dirilislah album ini.

Lo sendiri surprisednggak dengan responnya? Album ini kan sering disebut sebagai salah satu album terbaik 2016

Gue sebenernya low expectation buat album ini. Bagi gue album ini sendiri pop banget, dan pasti lebih mudah buat diterima oleh publik dibanding Sigmun.

Kalau resepsi publik gue nggak terlalu kaget, karena memang lagu-lagunya gampang dicerna, kan. Tapi untuk resepsi kritikus, ternyata oke juga, itu lumayan mengagetkan sih.

Ada, nggak, tema tertentu yang diusung di album Bin Idris?

Nggak ada tema besar. Secara keseluruhan temanya ya tentang perspektif personal gue aja, soal segala hal. Kayak hal remeh kayak di Jalan Bebas Hambatan, atau soal mager di rumah, lah.

Wah begitu, lalu lagu Tulang dan Besi tentang apa?

Tulang dan Besi itu tentang kasus Salim Kancil. Sebenernya gue pribadi bukan orang yang terlalu peka sama isu-isu sosial semacam itu, tapi ketika kasus Salim Kancil naik, gue lagi seneng-senengnya pasca Sigmun rilis single. Ketika lagi bahagia dan gue denger ada orang yang nasibnya kayak gitu, miris kan rasanya. Lalu apa yang bisa gue lakuin? Ya minimal, gue bikin lagu tentang itu.

Influence lo sendiri datang dari mana aja, sih?

Influence untuk album Bin Idris ini masih beririsan sama Sigmun sebenernya. Kayak Bob Dylan, delta blues Robert Johnson, Chrisye, Iwan Fals, atau Dewa 19. Ketika awal ngerjain album ini gue ngerasa pengen bikin album yang grande kayak Dewa, tapi ternyata nggak terkejar, jadi gue tekankan di simplifikasi aja. Sebelumnya gue mau ada string section-nya, tapi setelah gue kerjain di rumah, gue ngerasa kalau ada orang lain yang gabung lagi kayaknya bakal terganggu, makanya gue coba kerja sendiri.

Apa konsep tadi bakal lo simpen buat rencana ke depan?

Gue nggak mengharuskan Bin Idris buat selalu simpel, gue membiarkan opsinya terbuka aja.

Rencana ke depan buat Bin Idris sendiri kayak gimana, sih?

Ini pertanyaan yang paling males gue jawab sebenernya, hahaha. Untuk waktu dekat ini ada rencana rilis vinyl sama Orange Cliff.

Apa lo ngerasa kesulitan ngegarap solo project di tengah kesibukan ngeband?

Nggak ada, kayaknya. Karena gue ngerjain rekamannya di rumah, nggak ada kesulitan karena gue bisa rekaman kapanpun. Karena memang pengerjaannya cuma melibatkan satu kepala, jadi gue mau berbuat sebodoh apapun, kan, ditanggung gue sendiri. Beda dengan waktu di band, kalau gue mau berbuat bodoh, kan, ada yang ngingetin. Gue pengen project ini membiarkan gue untuk jadi ‘gegabah’.

Influence studi lo di FSRD ITB sendiri apa, sih?

Wah, kalau itu macem-macem. Gue dapet metodologi buat penciptaan karya gue. Cara ini nggak fixed banget gue pake, karena gue bekerja cenderung intuitif. Tapi dari situ gue belajar gimana caranya mengumpulkan ide intuitif tadi biar jadi satu. Seniman, kan, nggak semua cara kerjanya bikin konsep, pilih original, ada juga yang dibikin dulu, lalu konsepnya belakangan. Nah, berbagai metodologi itu bisa gue terapin di karya gue.

Rapid question nih, coba sebutin satu album terbaik sepanjang 2016 dan lagu yang akhir-akhir ini lo putar terus-terusan!

Album? Mondo Gascaro. Gampang lah, ya, buat bilang kalau itu album bagus. Secara teknis dan kompleksitas aransemennya oke banget. Kalau buat lagu, apa ya? Vira Talisa, Walking Back Home. Asik, hahaha.

Reporter: Widya Salsabila - SMAN 3 Depok

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x