Nggak jarang stigma dan diskriminasi itu justru memperparah kondisi mereka. Nggak jarang, meredupkan semangat dan harapan yang lagi dibangun.
“Virus (HIV) nggak membunuh, justru stigma yang membunuh,” tegas Ginan.
Virus yang melemahkan daya tahan tubuh itu emang mematikan. Namun, orang yang terinfeksi masih bisa bertahan dan melakoni hidup seperti sediakala.*****
Para pegiat ini tiap hari mendampingi pecandu yang ikut terapi Methadone di R.S Hasan Sadikin. Selain itu, pendampingan individu juga dilakukan bagi ODHA di klinik Teratai di rumah sakit yang sama.
Di kedua tempat itu Rumah Cemara melakukan dukungan individual untuk mengatasi berbagai masalah, memberi saran, dan mengubah perilaku para pecandu serta pengidap HIV/AIDS. Singkatnya, bersentuhan langsung dengan setiap orang yang didampingi.
Yang menarik, para pegiat itu sebagian besar mantan pecandu dan 85 persen adalah pengidap virus HIV. Kesamaan latar belakang inilah yang bikin keduanya bisa gampang dekat dan klop. “Kami bisa jadi panutan bagi mereka, karena bagi mereka, kami juga teman,” ujar Anton Djajapawira, Direktur Rumah Cemara.
Selain pendekatan individu, ada juga layanan kelompok. Selain sebagai solusi pembagian pendamping, metode layanan kelompok juga lebih efektif. “Di dalam kelompok, mereka akan saling mendukung dan mengingatkan secara mandiri.”
![](https://cdn.grid.id/photo/noimg.png)
*****
Nama eventnya Homeless World Cup. Ini adalah kompetisi sepakbola jalanan (street soccer) tingkat dunia yang pesertanya adalah golongan minoritas. Misalnya pecandu, pengidap HIV/AIDS, sampai gelandangan. Mungkin nggak segemerlap World Cup yang bertaburkan nama-nama pesepakbola kelas dunia, tapi event ini menumbuhkan harapan dan membangun anggapan bahwa ODHA juga bisa berprestasi.
Rumah Cemara punya peran penting dalam merekrut anggota tim yang akan berlaga di Homeless World Cup. Pada gelaran tahun 2014 saja misalnya. Rumah Cemara menggelar seleksi nasional di sembilan provinsi.