FOTO-FOTO: DWI OBLO
Kisah Deradjat Ginandjar Koesmayadi emang selalu bisa jadi inspirasi para pengidap HIV/AIDS, pengguna napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) di Indonesia. Gimana nggak? Cowok yang akrab disapa Ginan ini berhasil bangkit dari titik terendah dalam hidupnya: ia seorang pemakai narkoba dengan jarum suntik, sampai akhirnya terinfeksi HIV.Lantas ia mencoba bangkit dan bersama keempat temannya – sesama mantan pecandu – ia mendirikan Rumah Cemara (RC) di kawasan Geger Kalong, Bandung pada tahun 2003.
“Ide mendirikan Rumah Cemara sebetulnya muncul dari kegelisahan kami bahwa tidak ada tempat aman dan nyaman bagi pengidap HIV/AIDS atau pecandu napza untuk berbagi harapan serta motivasi,"ujar Ginan dalam sebuah wawancara.
Kegelisahan itu, dirasakan banget ketika ia menjadi pecandu napza jenis suntik sekitar tahun 1997. Begitu lulus SMA, ia langsung diungsikan keluarganya ke Yogyakarta. Pada masa itu, ia sudah masuk tahap kecanduan, sehingga sering menjual barang dan mencuri demi memuaskan ketagihannya.
Tapi nggak lama ia balik lagi ke kota asalnya, Bandung. “Saya diterima di Universitas Padjajaran.”
Sayang, dirinya udah nggak bisa mengontrol rasa kecanduan. Semua rencana yang udah ia susun selalu berantakan karena kecanduan. “Tuhan saya narkoba.”
Sebenarnya ia sempat ngerasain tinggal pesantren rehabilitasi, tapi ia belum sembuh juga. Cara pemulihan dengan religi nggak cocok dengan jiwanya. Dia kabur, kembali ke jalan, dan beberapa kali sempat ditangkap polisi. “Sendi-sendi kehidupan saya ancur,” akunya.
Akhirnya, Ginan menemukan panti rehabilitasi yang cocok di Bandung. Di situ, ia merasa diterima dan nyaman. “Ada ruang untuk aktualisasi diri.”
Di situ juga ia mendapat saran dari seorang konselor untuk menjalani rehabilitasi di Malaysia. Tapi syarat untuk masuk rehab di negeri jiran ini harus melalui tes HIV. Di sinilah, hidupnya melesat terjun ke bawah. Hasil tesnya positif.
“Saya baru tahu ketika saya ingin berhenti dari narkoba,” kenangnya.
Setelah beberapa kali diperiksa ulang, hasilnya tetap positif. Ginan nggak nyangka sama sekali kalo virus HIV menyusup ke tubuhnya lewat jarum suntik. Rasa kalut dan ketakutan nggak diterima keluarga berkecamuk di kepalanya. Toh, semua itu jadi kenyataan.
Saat pulang rehab dari Malaysia, keluarganya memisahkan gelas, piring dan sendok untuk dirinya.
Masa itu, mengaku mengidap HIV di depan publik terbilang belum pernah terjadi di Indonesia. Tapi menurutnya, justru para pengidap harus melakukan itu untuk penanganan lebih lanjut. “Nggak ada bedanya antara pengidap dan bukan. Kalau nggak ada yang mulai buka status bakal susah,” tegas Ginan.
Begitulah bagaimana pengalaman hidupnya membuatnya merasa perlu mendirikan sebuah komunitas tempat OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan pecandu napza berkumpul untuk bertukar pikiran.
Tepatnya 1 Januari 2003, Ginan, Darwis, Ikbal, Patri dan Tanto mendirikan Rumah Cemara. Ide nama ini diambil dari sebuah serial Keluarga Cemara di sebuah stasiun televisi nasional yang menggambarkan potret keluarga sederhana tapi dekat satu sama lain.
Modal mereka awalnya cuma keyakinan bersama bahwa pemulihan harus dimulai dari perubahan di dalam komunitas itu sendiri. Keyakinan ini tumbuh dari pengalaman sebagai pecandu yang kerap keluar-masuk panti rehabilitasi.*****
Orang awam banyak yang tau kalo kawasan ini ngetop dengan Pesantren Daarut Tauhid, binaan Abdullah Gymnastiar alis AA Gym. Nggak jauh dari situ, Rumah Cemara sudah bisa terlihat. Tepatnya di Jalan Gegerkalong Girang No. 52.
Pintu masuknya melalui halaman tersisa yang nggak dibangung warung. Tapi sering harus zigzag di antara barisan motor yang parkir. Beberapa kali tampak pemilik warung hilir-mudik mengantar pesanan makanan dan minuman dari rumah induk.
Pagar depan terbuka lebar. Pekarangannya luas, ditumbuhi pohon rindang. Di bawahnya meja dan kursi berderet nyaman banget untuk bersantai.
Suasana rileks yang dibangun di sana, emang sengaja diciptakan. Tampak beberapa penghuni yang merupakan pecandu, sedang berkumpul layaknya lagi nongkrong di rumah teman.
Nggak jarang stigma dan diskriminasi itu justru memperparah kondisi mereka. Nggak jarang, meredupkan semangat dan harapan yang lagi dibangun.
“Virus (HIV) nggak membunuh, justru stigma yang membunuh,” tegas Ginan.
Virus yang melemahkan daya tahan tubuh itu emang mematikan. Namun, orang yang terinfeksi masih bisa bertahan dan melakoni hidup seperti sediakala.*****
Para pegiat ini tiap hari mendampingi pecandu yang ikut terapi Methadone di R.S Hasan Sadikin. Selain itu, pendampingan individu juga dilakukan bagi ODHA di klinik Teratai di rumah sakit yang sama.
Di kedua tempat itu Rumah Cemara melakukan dukungan individual untuk mengatasi berbagai masalah, memberi saran, dan mengubah perilaku para pecandu serta pengidap HIV/AIDS. Singkatnya, bersentuhan langsung dengan setiap orang yang didampingi.
Yang menarik, para pegiat itu sebagian besar mantan pecandu dan 85 persen adalah pengidap virus HIV. Kesamaan latar belakang inilah yang bikin keduanya bisa gampang dekat dan klop. “Kami bisa jadi panutan bagi mereka, karena bagi mereka, kami juga teman,” ujar Anton Djajapawira, Direktur Rumah Cemara.
Selain pendekatan individu, ada juga layanan kelompok. Selain sebagai solusi pembagian pendamping, metode layanan kelompok juga lebih efektif. “Di dalam kelompok, mereka akan saling mendukung dan mengingatkan secara mandiri.”
*****
Nama eventnya Homeless World Cup. Ini adalah kompetisi sepakbola jalanan (street soccer) tingkat dunia yang pesertanya adalah golongan minoritas. Misalnya pecandu, pengidap HIV/AIDS, sampai gelandangan. Mungkin nggak segemerlap World Cup yang bertaburkan nama-nama pesepakbola kelas dunia, tapi event ini menumbuhkan harapan dan membangun anggapan bahwa ODHA juga bisa berprestasi.
Rumah Cemara punya peran penting dalam merekrut anggota tim yang akan berlaga di Homeless World Cup. Pada gelaran tahun 2014 saja misalnya. Rumah Cemara menggelar seleksi nasional di sembilan provinsi.
“Keunikannya bertambah, karena hanya Indonesia yang membawa isu HIV/AIDS, mantan pecandu, dan warga miskin kota. Kalo negara lain isunya hanya homeless dan gelandangan,” jelas Febby Arhemsyah yang kala itu menjabat sebagai manajer tim.
Perolehan itu makin sempurna karena Indonesia dinobatkan sebagai pendatang baru terbaik. Ginan, sebagai Kapten Tim, juga meraih gelar pemain terbaik Homeless World Cup 2011. Di penyelenggaraan tahun-tahun berikutnya, Indonesia tetap masuk jadi tim unggulan dan selalu masuk 10 besar.
“Kita yang terbaik di Asia. Bahkan nggak ada negara Asia yang masuk 10 besar,” tambah Ferry.
Deradjat Ginandjar Koesmayadi, sering dipanggil Ginan oleh teman-teman baiknya, sudah membuktikan bahwa di titik nadir sekalipun manusia bisa bangkit bahkan berbuat lebih untuk sesamanya. Mulai keluar dari jerat narkoba, berstatus HIV positive, mendirikan Rumah Cemara bareng teman-temannya sesama mantan pecandu, dan menjadi pengembang olah raga di sana, sampai akhirnya meraih gelar pemain terbaik di Homeless World Cup 2011, nggak mungkin ia lakukan sendiri tanpa bantuan teman-temannya.
Ini jelas bukan prestasi ketinggian untuk seorang ODHA yang mantan junkie. Ginan bisa membuktikannya. Di luar stigma dan diskriminasi yang masih dirasakan ODHA di masyarakat, kiprah Ginan dan teman-temannya di Rumah Cemara bisa menjadi contoh bahwa dukungan sebaya bisa jadi kekuatan luar biasa. Tanpa dicap sampah atau penyakit masyarakat, ODHA juga seperti kita, ingin berarti bagi masyarakat. #rangkulODHA
(Artikel ini disarikan dari Sisipan National Geographic Indonesia, Oktober 2014)