Follow Us

Ulasan SUICIDE SQUAD (2016) – #SQUADFAILS

- Senin, 08 Agustus 2016 | 05:15
Ulasan SUICIDE SQUAD (2016) – #SQUADFAILS
Hai Online

Ulasan SUICIDE SQUAD (2016) – #SQUADFAILS

Sebelum saya memberikan ulasan, saya harus menyatakan sebelumnya bahwa saya mempunyai kepedulian yang besar terhadap masa depan film-film DC Comics. Sekitar Agustus tahun lalu, saya pernah menulis tentang bagaimana DC Comics akan mampu mengimbangi Marvel Studio dalam segi konsep penuturan cerita. Maka dari itu, seburuk apapun saya akan mengulas film yang sudah saya nanti-nanti sejak tahun lalu ini, itu semua karena saya peduli. Hal yang sama juga berlaku pada kritikus Rotten Tomatoes yang ingin diboikot oleh para penggemar fanatik DC Comics karena dituduh selalu menjelek-jelekkan film DCEU.

Saya yakin mereka semua juga sebenarnya peduli, dan bahwasanya harus dimengerti bahwa kritik film bukan hanya bertujuan untuk melindungi dompet penonton dari film buruk, namun juga bertujuan untuk menyelamatkan para produsen film dari malapetaka yang mungkin tidak mereka sadari ada di dalam film yang mereka buat. Jangan berpikiran seperti Cara DeLevingne yang bilang bahwa kritikus film membenci film superhero, padahal mereka pernah memberi nilai yang luar biasa bagus pada film The Dark Knight, yang notabene merupakan film superhero dari DC Comics.

Suicide Squad dibuka dengan pengenalan bertahap setiap penjahat super dengan mengeksposisi backstory mereka satu persatu mulai dari Deadshot (diperankan oleh Will Smith), Harley Quinn(diperankan oleh Margot Robbie), Captain Boomerang (diperankan oleh Jai Courtney), Killer Croc (diperankan oleh Adewale Akinnuoye-Agbaje), Enchantress/June Moone (diperankan oleh Cara DeLevingne), dan El Diablo (diperankan oleh Jay Hernandez). Tidak hanya para penjahat, namun para pelaksana proyek yaitu Rick Flag (diperankan oleh Joel Kinnaman) dan Amanda Waller (diperankan oleh Viola Davis) juga mendapat giliran perkenalan. Terlalu banyak tokoh? Setuju, apalagi dengan diperparah oleh pola penyuntingan yang berantakan dan tidak terkonsep dengan baik sehingga menjadikan keunikan karakter para tokoh tersebut saling tumpang tindih dan sulit untuk dinikmati.

Jika sebuah film action-adventure menawarkan sekumpulan penjahat kelas kakap dengan kekuatan super, seorang kolonel tangguh dan perkasa, dan seorang pemimpin bertangan dingin untuk mempertahankan sebuah kota dari serangan teror misterius, akan lebih bijak jika sutradara dan penulis skenario memanfaatkan keahlian unik masing-masing dari mereka semua untuk merancang sebuah skenario pertempuran yang tidak hanya epik, namun juga otentik dan ikonik.

Entah apakah ini salah David Ayer sebagai sutradara dan penulis, ataukah salah Warner Bros. Executive yang terkenal senang mengintervensi visi sutradara dengan argumen yang labil, namun setiap adegan pertempuran di film ini menjadi sangat monoton karena hanya terdiri dari tembak-menembak, pukul-memukul, tebas-menebas, dan bakar-membakar. Brutal memang, jika berbicara tentang jumlah kerusakan yang dihasilkan, namun dilakukan dengan gaya yang terlalu konvensional, minim kecerdasan, dan tanpa emosi, seperti layaknya kita temukan di Man of Steel dan Batman v Superman: Dawn of Justice. Beberapa penjahat seperti Captain Boomerang, Katana, dan Slipknot menjadi hampir tidak berguna karena kekuatan spesial yang mereka miliki tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya di film ini. Well, we just can’t have them all, right?

Yang menjadi penyelamat film ini adalah penampilan Margot Robbie, Will Smith, dan Jay Hernandez. Dengan penggambaran tokoh yang tepat sasaran, mereka berhasil membuat film ini menjadi lebih berwarna dengan kehangatan dan humor jenaka yang tidak pernah kita temukan di DCEU sebelumnya. El Diablo sukses menjadi kuda hitam dengan karakter dan backstory yang mampu menarik simpati kita tanpa perlu bersusah payah ingin terlihat keren, gila, dan edgy seperti para tokoh yang lain. Ada satu adegan di mana para penjahat beserta komandan regu duduk dan minum bersama di dalam sebuah bar yang tak berpenghuni kemudian berdiskusi tentang kejahatan mereka di masa lalu. Biarpun pembicaraan lagi-lagi hanya didominasi oleh Deadshot dan El Diablo, namun ironisnya adegan eksplorasi karakter ini justru menjadi satu-satunya adegan yang menarik di dalam Suicide Squad, dan bukan salah satu di antara adegan baku tembak dan hantam. Finale-nya pun, aduh, nggak banget, apalagi ditambah dengan akting Cara DeLevingne yang sangat buruk dan treatment third act yang sangat kacangan.

Satu hal yang paling dinanti-nanti Suicide Squad adalah keberadaan The Joker yang diperankan oleh sang maestro Jared Leto. Ada satu permasalahan yang sangat vital yang saya temukan pada The Joker di Suicide Squad, yaitu pada penggambaran hubungannya dengan Harley Quinn. Tidak salah jika kita mengharapkan hubungan yang abusif dan manipulatif di mana Joker selalu memperdaya Harley dengan cinta yang palsu, karena memang origin story mereka dari komik ke komik seperti itu. Baca: Penasaran Harley Quinn di Suicide Squad

Bicara soal moral, hubungan abusif dan manipulatif tidak seharusnya diromantisasi, karena hal tersebut merupakan isu yang serius dan sering terjadi di kehidupan nyata. Itu kalau bicara soal moral. Lain lagi dari sudut pandang komersil. Pernah mendengar betapa suksesnya buku-buku dan film The Twilight Saga serta Fifty Shades of Grey? Ditambah dengan banyaknya remaja tanggung yang memuja betapa ‘kerennya’hubungan mereka berdua, sudah pasti Suicide Squad akan menjangkau pasar lebih luas jika romantisasi itu diterapkan.

Warner Bros dan DC Comics nampaknya setuju akan hal ini, jadi ya, mereka meromantisasi hubungan mereka berdua, tentunya dengan pendekatan yang—urgh—cheesy dan soundtrack seduktif submisif dari Kehlani sebagai lagu ‘peresmian’ hubungan mereka berdua. Hasilnya adalah crazy-love-cheesy-manipulative version of The Joker. Yak, betul, jika kamu mengharapkan versi The Joker yang filosofis, kuat, dan penting seperti versi Heath Ledger di The Dark Knight, kamu akan amat sangat kecewa.

Editor : Hai Online

Baca Lainnya

Latest