Organisasi itu semakin emosi mendengar ocehan aparat.
“Bukannya kalian yang diperbudak? Kalian cuma robot-robot bodoh! Dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan. Dan bukan untuk kepentingan bangsa ini. Kalian tidak tahu apa-apa. dan kami sudah tidak percaya dengan Bangsa ini! Kami cuma percaya pada Ka Mi.” jawab salah seorang dari organisasi itu.
Tiga orang dari organisasi menyusul masuk ke dalam bus, lewat pintu depan. Seorang menghampiri pemimpinnya ke belakang, tempat aparat dan Samerka yang sedang terancam. Yang dua orang lagi berdiri di depan, memandang penumpang satu persatu. Sementara saya, dengan napas terengah-engah, meminta supir untuk segera mengambil keputusan. Supir pun melaksanakannya. Bus digas sekencang-kencangnya. Keempat orang dari organisasi tersebut terkaget karena hentakan gas. Dua orang tersungkur. Seorang dari mereka menembakkan senjatanya tanpa aturan. Aku bergeser ke arah Indah dan melindungi tubuhnya dari tembakan itu yang akhirnya mengenai seluruh badan bus, serta dua orang penumpang. Seorang ibu berteriak, juga penumpang lainnya. Ibu tersebut menangis sejadi-jadinya melihat kondisi anaknya yang sudah tak bernyawa lagi.
Kepanikan mulai tampak di wajah organisasi tak dikenal itu. Mereka kembali melepaskan tembakan ke arah aparat, tepat di lututnya. Aparat berteriak menahan kesakitan sambil bergerak kencang membuka ikatan dan menempelkan pinggang belakang, tempat dia menyelipkan senjatanya. Dia membisikkan sesuatu pada Samerka agar mengambil senjata itu. Kini ikatan tersebut sudah terlepas. Secepatnya dia mengambil senjata yang diberikan aparat, lalu menembak kedua orang dari organisasi tersebut.
Saat ada dua orang lagi ingin berdiri, perlahan kuambil kunci roda yang berada di bawah bangku. Kulayangkan kunci roda itu ke kepala salah seorang dari organisasi itu. Dan ibu yang kehilangan anaknya itu, sambil terus menangis, menginjak-injak perut dan mencakar muka salah seorang dari kelompok tersebut yang masih terduduk di lantai bus. Lalu beberapa penumpang dengan marahnya ikut menginjak para orang-orang yang sudah berada di lantai itu. Sambil berteriak, menangis sejadi-jadinya, mereka menghabisi orang-orang tersebut. Ada yang menggigit muka, menusuk mata dengan pena, dan ada pula yang memukulkan senjata ke muka mereka berkali-kali. Pecah, robek, penuh darah.
Samerka dan aparat terperangah melihat apa yang di lakukan penumpang terhadap orang-orang dari organisasi tersebut. Keduanya terdiam. Perlahan Samerka meneteskan airmata. Dia tertunduk. Lalu menghampiri Aparat yang sudah sekarat dan seolah-olah ingin mengucapkan, maaf. Aparat juga demikian, ingin mengucapkan kata yang sama. Lalu Samerka berdiri seperti ingin melangkah ke pintu belakang. Langkahnya terhenti. Lalu perlahan memandang ke arahku. Ya, dia menatapku dengan penuh arti, harap, dan sebagainya.
Saya meminta supir untuk menghentikan bus. Perlahan gas diturunkan. Penumpang mulai lelah dengan apa yang sudah dilakukan pada tubuh-tubuh tak bernyawa itu. Yang terdengar hanya tangisan mereka. Baru saja bus itu ingin berhenti, tiba-tiba terdengar suara tembakan, menembus kepala Samerka. Dia terjatuh. Aku berteriak sejadi-jadinya. Matanya berakhir di mataku. Semua penumpang berteriak, melihat apa yang terjadi pada orang yang sudah menyelamatkan juga mengancam hidup mereka.
Saya menghampiri Samerka, mengangkat tubuhnya yang sudah tidak bernyawa lagi, lalu mendudukkannya persis di samping aparat yang juga sudah sekarat. Aparat tak sanggup menahan tangis. Dia cuma bisa memandang tubuh yang tak bernyawa itu. Air matanya menetes.
Bus kembali berjalan seiring waktu yang sudah semakin menampakkan penerangan. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Penumpang berserakan duduk tak beraturan dimana-mana. Angin semakin kencang masuk ke dalam bus. Tapi sama sekali penumpang tidak merasakan dinginnya udara, karena tubuhnya telah menjadi api. Api amarah. Semua terdiam. Mata merah menerawang, tanpa pengharapan. Hanya ada kepasrahan yang terpancar dari matanya.
Dalam sebuah perjalanan, hal yang paling menenangkan adalah ketika kita sudah melihat gapura bertuliskan “Selamat Datang” pada kota tujuan. Pertanda bahwa kita telah sampai. Tapi tidak untuk kali ini. Karena hal yang paling diinginkan saat ini adalah rumah. Rumah ketenangan, Rumah perdamaian, ya perdamaian.
Pukul 06.00 pagi. Bus telah sampai di terminal. Pintu terbuka. Tapi tak satu pun dari penumpang yang keluar. Semua terdiam. Suara-suara semakin ramai menghampiri bus tersebut. Tangisan memecah kecemasan. Jemputan telah datang, membawa tubuh dengan jiwa yang hampir hilang. Tak ada lagi airmata dari penumpang. Hanya rasa syukur yang mendalam. Yang tinggal hanya tubuh aparat yang sekarat dan tubuh Samerka yang telah wafat.
Keesokan harinya, di sebuah losmen kecil di jalan Karang Baru, Sampar, setelah aku selesai menelefon Indah, sambil menulis semua kejadian yang kualami ini, aku mendengar di radio bahwa seorang Samerka dikebumikan secara layak, dengan upacara kenegaraan. Sementara aparat yang sekarat terduduk di kursi roda di depan makam Samerka. Tanpa seragam. Ia baru saja memutuskan untuk keluar dari Angkatan Bersenjata.