Follow Us

Cerpen Selamat

- Senin, 28 Maret 2016 | 09:15
Teuku Rifnu Wikana
Hai Online

Teuku Rifnu Wikana

Sampar adalah sebuah kota yang berada di ujung pulau Santani. Ia sangat dikenal dengan kekayaan alamnya: rempah, emas, dan sebagainya. Dulu, kota ini adalah tempat berkumpulnya para pedagang yang ingin melakukan perjalanan panjang melalui jalur laut. Tapi kini, orang-orang tak lagi berani menginjakkan kakinya dan tinggal berlama-lama. Kota itu sudah menjadi tempat berkumpulnya para aparat negara dan kelompok-kelompok separatis yang berseberangan. Dan di tempat inilah aku ditugaskan meliput segala kejadian yang tengah terjadi di masyarakat.

Kalau Anda pergi ke daerah itu, maka Anda akan merasa berada di tahun delapan puluhan. Anda tidak akan asing melihat orang-orang yang berjalan puluhan kilometer dengan membawa lampion di tangan. Rumah-rumah terbuat dari kayu beratap nipah. Anak-anak haus pendidikan dan hiburan. Sementara kampung penuh dengan pos-pos penjagaan. Hening. Tak ada suara, kecuali binatang yang selalu bergantian mengeluarkan suara yang sama; sama seperti suara seabad lalu. Tak ada yang berubah, kecuali penduduk kampung yang berubah jumlahnya. Hilang, atau pergi. Tak tahu kemana.

Ini adalah tahun kedua setelah turunnya seorang pemimpin negara karena desakan masyarakat. Seluruh daerah berpesta atas kemenangan tersebut. Tapi apa yang harus dilakukan setelah kemenangan itu? Tidak ada yang tahu. Yang mereka tahu, bahwa musuh bersama telah ditaklukkan. Maka kebebasan sudah dalam genggaman.

Sementara itu, masyarakat mulai bertindak di luar batas. Menggelepar menghadapi kebebasan karena selama puluhan tahun dibatasi. Pikiran dan perbuatan dipenjara, khususnya daerah yang mau saya kunjungi ini – daerah yang semenjak tercetusnya kemerdekaan sampai detik ini masih sama seperti dulu. Tidak banyak yang berubah. Sebuah analogi nyata, bahwa dalam satu tandan kelapa harus ada satu buah yang dikorbankan sarinya untuk menyuburkan buah lain. Membuat buah itu busuk dan kering. Lalu dengan senyum lebar kita petik buah-buah yang subur. Sementara yang busuk kita campakkan, karena tidak ada isinya, tidak berguna lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Saya sudah berada di terminal Montani di kota Rampak – sebuah terminal bus jurusan Rampak-Sampar. Setelah membeli tiket di loket, saya pun naik ke bus yang berada di pojok terminal. Tidak ada bus lain. Hanya itu satu-satunya bus tujuan Sampar yang beroperasi malam. Yang lain lebih memilih perjalanan pagi hari.

Seluruh penumpang sudah menempati bangkunya masing-masing. Kondektur menutup bagasi yang sudah di penuhi barang-barang bawaan penumpang. Supir berjalan menuju bangkunya. Aku duduk di bangku pertama di sebelah kiri supir. Tidak ada yang berani untuk duduk di bangku tersebut, selain aku dan seorang wanita berjilbab yang duduk persis di sebelahku. Wanita yang memiliki wajah yang rupawan. Manis, dan sangat memikat hati siapapun yang melihatnya.

Pukul 18.00. Bus keluar dari terminal. Perjalanan yang harusnya hanya sepuluh jam, ternyata sudah memakan waktu tiga belas jam. Tiap pos ada pemeriksaan. Antara pos satu dengan pos lainnya berjarak lebih kurang lima kilometer. Ada pos-pos aparat negara, ada juga pos-pos bayangan. Termasuk penyisiran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tak dikenal, yang mengatas-namakan salah satu kelompok: aparat negara atau SAMERKA (Sampar Merdeka). Yang jelas mereka semua berseragam hijau.

Pukul 20.00. Sinaran lampu bus, mengarah lurus ke depan. Pos pertama sampai pos ke empat telah dilalui. Di pos kelima, beberapa orang lengkap dengan seragam berwarna hijau dan bersenjata menghadang jalan. Kondektur turun menyapa orang-orang tersebut, lalu berlari ke arah pos penjagaan, guna melaporkan jumlah penumpang yang ada di dalam bus, juga mencari kemungkinan-kemungkinan lain, Siapa tahu ada penyusup di antara penumpang tersebut.

Salah seorang aparat berteriak: “Yang laki-laki turun!”

Semua penumpang laki-laki turun. Termasuk saya. Kami diperintahkan untuk berbaris dan mengeluarkan kartu tanda pengenal. Saya berada di barisan kedua. Di depan saya adalah seorang bapak yang membawa anak perempuannya. Anaknya memandang takut dari dalam bus. Melihat apa yang sedang dilakukan aparat terhadap bapaknya. Tapi syukur, bapak tersebut selesai diperiksa. Kini giliran saya. Kebetulan di leher saya menggelantung identitas wartawan. Itu pulalah yang pertama sekali mereka tanyakan. Segala macam pertanyaan dilontarkan kepada saya. Saya menjawab semua pertanyaan itu dengan berusaha tenang. Akhirnya saya selesai diperiksa. Kini giliran orang-orang di belakang saya. Satu-persatu mereka ditanya dan menjawab, sampai akhirnya semua selesai diperiksa. Kami pun kembali ke dalam bus. Setelah semua masuk, supir mulai menjalankan bus. Pos kelima sudah dilewati.

Pos keenam. Pos ketujuh. Pos kedelapan. Saat memasuki pos kesembilan, tepatnya di tengah-tengah hutan, supir terkaget, dan seketika menghentikan bus. Dia melihat seseorang seperti kilat, melintas di badan jalan. Dalam hitungan detik, beberapa orang dengan loreng berbeda, sudah berada di depan bus. Tak tampak jelas wajah orang-orang itu. Mereka berdiri tepat di batas cahaya yang menyinari kaki sampai ke dadanya. Perlahan mereka mulai menampakkan wajahnya. Wajah-wajah yang penuh amarah. Dan bukan hanya itu, dalam waktu bersamaan, dari kiri bus, puluhan orang lengkap dengan persenjataan yang berbeda-beda muncul dari dalam hutan. Rasa takut mulai menghantui saya, karena saya yakin bahwa orang-orang itu pasti bukan aparat negara.

Wanita di sebelahku sepertinya tahu apa yang saya rasakan.

Editor : Hai Online

Baca Lainnya

Latest