“Kamu lakukan saja apa yang mereka inginkan. Mereka tidak akan berbuat kasar jika kita menuruti perintahnya,” kata wanita tersebut.
Terdengar teriakan dari salah seorang anggota kelompok tersebut.
“Semua yang di dalam bus turun!”
Bahasanya tidak asing di telingaku. Ayahku sering menggunakan bahasa ini. Ya, mereka adalah Samerka. Kami pun turun keluar bus. Gelap sekali tempat itu. Kami dibawa ke pinggir hutan, dekat sebuah batu besar. Kali ini pemeriksaannya berbeda dari sebelumnya. Kita diminta untuk membentuk dua barisan, barisan laki-laki dan perempuan. Saya berada di barisan pertama laki-laki. Mereka menanyakan tujuan saya ke Sampar. Saya menjelaskan bahwa ini adalah pekerjaan saya sebagai wartawan, yang ingin meliput seputar konflik yang terjadi di Sampar.
Mendengar penjelasan saya, seorang lelaki setengah baya, bertubuh sedang, menghampiri saya. Sepertinya dia mendengar semua perkataan saya. Lalu tepat di depan mata saya dia berkata, bahwa mereka tidak menginginkan semua ini, jika pemerintah mau dan mengerti apa yang mereka inginkan. Itu saja. Ya, cuma kata-kata itu yang dia ucapkan. Tapi justru dari kata-kata itu saya sudah menemukan apa yang saya cari untuk peliputan ini.
Setelah itu, laki-laki setengah baya bertubuh sedang itu pun pergi. Selesailah pemeriksaan untuk saya. Tinggal menunggu yang lain.
Saya melihat, semua diperiksa mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan selalu berhenti di pergelangan kaki. Seolah mencari sesuatu. Ya, mereka mencari apakah ada bekas karet kaos kaki aparat. Karena umumnya bekas itu tidak mudah hilang. Berbeda dengan wanita. Satu persatu wanita tersebut diinterogasi. Kini giliran wanita di sebelahku. Aku mendengarkan bahasa yang digunakan. Aku sedikit mengerti. Mereka sedang membicarakan tentang pentingnya arti kemerdekaan. Wanita di sebelahku hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah semua diperiksa, kami pun kembali ke dalam bus. Tidak ada seorang pun yang ditahan. Mereka hanya meminta beberapa nomor telefon penumpang.
Setelah semua kembali duduk di bangku masing-masing, bus kembali dijalankan. Para penumpang yang tadinya masih sempat berbicara satu sama lain, kali ini semuanya terdiam, shock. Wajah pelepasan dari sebuah beban terberat dalam perjalanan ini tampak tergambar di wajah para penumpang. Dan karena pengalaman ini pulalah aku semakin dekat dengan wanita di sebelahku.
“Saya Indah.” Wanita itu mempernalkan diri.
“Saya Deva,” sahutku.
Pembicaraan pun bergulir seiring waktu.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Beberapa penumpang tertidur pulas. Saya dan Indah masih terus bercerita, dari seputar Sampar sampai ke persoalan pribadi. Indah adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Hanya dia dan kedua adiknya yang tinggal bersama orangtuanya. Kedua kakaknya sudah lama meninggalkan daerahnya, dikarenakan banyaknya ancaman yang diterima keluarganya. Maklum, keluarga pegawai negeri. Ayahnya adalah Camat di kota Sampar yang seringkali didatangi oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan sebuah organisasi. Tapi kelompok-kelompok tersebut tidak pernah berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak punya surat perintah.