Follow Us

Cerpen Selamat

- Senin, 28 Maret 2016 | 09:15
Teuku Rifnu Wikana
Hai Online

Teuku Rifnu Wikana

Terakhir dia mendapat kabar, bahwa kendaraan yang dia miliki diambil oleh salah satu kelompok, Sampar Merdeka. Keluarganya mengaminkan permintaan kelompok tersebut, dengan alasan yang tidak dapat ditolak. Mereka datang dengan surat perintah dari komandan, meminta agar kendaraan tersebut dipinjamkan sebagai kendaraan pembawa bahan-bahan makanan dan sebagainya. Alasan yang cukup bisa diterima. Tapi apakah kendaraan itu kembali, Indah juga tidak berharap.

Cerita-cerita Indah sangat membuat saya semakin penasaran. Dia yang sudah menjadi korban pemanfaatan dari kelompok-kelompok tersebut, masih saja dapat berpikir hal yang positif. Lalu apa sebenarnya hal yang paling menakutkan dari persoalan-persoalan ini, jika wanita secantik dan selembut Indah pun tidak merasa takut. Kecurigaan saya, jangan-jangan ketakutan ini memang sengaja diciptakan? Pertanyaan itu kini sudah memenuhi lembaran notesku. Sementara Indah sudah tertidur pulas.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Perjalanan agak lancar. Pos-pos penjagaan sudah tak tampak. Mata ini pun semakin berat. Mulai tertutup, dengan sedikit sadar. Lambat laun pikiran-pikiran mulai menghilang, gelap. Kantuk yang nyaman karena banyaknya informasi-informasi penting yang sudah didapat. Semakin hilang, dan semakin hilang. Tapi aku sedikit terganggu oleh suara-suara sumbang dengan nada awas. Ya, itu adalah suara supir yang sedang berbicara dengan kondektur.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan memecah kaca jendela bus, tepat di samping salah seorang penumpang. Penumpang tersebut berteriak sejadi-jadinya. Semua panik.

“Tiarap! Semua tiarap.” Kondektur berteriak.

Semua penumpang tiarap. Suara tembakan kini semakin mendekat. Byarrr!! Seluruh kaca bus pecah. Pecahan tersebut mengenai seluruh penumpang yang sedang tiarap. Semua penumpang berteriak ketakutan. Saya tidak mampu berbuat apa-apa. Indah berada tepat di sampingku. Indah menangis. Dia meminta agar saya segera menenangkan penumpang supaya tidak lagi berteriak.

“Semua tenang! Jangan berteriak. Cobalah untuk tenang!” Lambat-laun suara teriakan mulai menghilang. Saya pikir saya berhasil menenangkan penumpang.

Ternyata mereka diam di karenakan inisiatif supir yang tiba-tiba menyalakan TV dan mengambil channel kartun Tom and Jerry. Volume TV pun dimaksimalkan oleh supir. Hanya beberapa detik, penumpang kembali lagi berteriak. Suara-suara orang di luar semakin mendekat di sekeliling bus tersebut. Seseorang membuka pintu belakang dan masuk ke dalam bus. Dia aparat negara. Memohon agar semua penumpang tidak berteriak dan meminta agar supir mematikan TV yang sangat mengganggu mata dan telinga.

Aparat tersebut tetap siaga dengan posisi berjongkok. Dia tetap berjaga. Melihat ke depan, belakang, dan samping bus. Dua orang muncul dari depan dan belakang bus. Mereka adalah Samerka. Aparat di dalam bus dengan sigap menembakkan senjatanya ke arah belakang. Samerka yang berada di belakang menghilang. Tapi aparat tersebut tidak sadar bahwa di depannya sudah berdiri seorang Samerka yang masuk lewat pintu depan, yang siap menembakkan senjatanya.

DORR!!

Tembakan sudah terlepas mengenai dada kiri aparat. Seluruh penumpang berteriak ketakutan. Samerka kembali menembakkan senjatanya ke arah jendela, meminta agar penumpang tidak mengeluarkan suara, dan meminta aparat meletakkan senjatanya. Aparat dengan darah yang sudah membasahi seragamnya pun meletakkan senjatanya.

Saya berada persis di belakang Samerka. Berdekatan dengan supir dan kondektur. Perlahan supir menggeser kunci roda ke arahku. Tanpa berpikir panjang, saya ambil kunci roda tersebut dan saya layangkan persis di kepala belakang Samerka. Dia terjatuh menimpa salah seorang penumpang yang sedang bertiarap. Penumpang yang tertimpa tubuh Samerka mendorongnya. Kini Samerka tersebut sudah berada di kolong, di samping bangku bus. Semua terdiam. Tak bergerak. Fokus mendengar apa yang terjadi di luar bus.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest