Sementara, yang lainnya menderita gangguan obsesif kompulsif sangat serius. Mereka mandi beberapa kali dalam sehari atau menggosok lantai toilet selama berjam-jam. Ada juga yang mengaku bermain video game sepanjang hari dan itu membuatnya tenang.
Jeff Kingston, profesor studi Asia di Temple University mengatakan, hikikomori biasanya memiliki gejala sosial yang ekstrem. Mereka tinggal di rumah bersama orangtua yang bisa merawat mereka setiap hari.
“Hikikomori jarang meninggalkan kamar dan rumahnya. Mereka terkunci di dalam dan membatasi interaksi dengan dunia maya. Ini dianggap sebagai penyakit kelas menengah karena hikikomori dari latar belakang seperti itu yang bisa mengandalkan dukungan keluarga mereka,” terang Jeff.
Baca Juga: Cerita Ninja Terakhir Jepang Soal Cara Berlatih, Mulai dari Menatap Lilin sampai Memanjat Dinding
Berdasarkan statistik pemerintah Jepang, ada 541 ribu hikikomori berusia 15-39 tahun di sana. Namun, hasil ini tak terlalu pasti sebab beberapa keluarga enggan melaporkan hikikomori di keluarga mereka.
Jepang berharap mereka bisa mengidentifikasi hikikomori yang berusia tua. Ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan keluarga dalam mengurus hikikomori. Ketika hikikomori semakin tua dan orangtuanya nggak mampu lagi merawat, maka pertanyaan atas kelanjutan hidup mereka sangat penting.
Mulai muncul pada 1980-an
Dilansir dari The New York Times, para dokter mulai mengobservasi hikikomori sebagai fenomena sosial sekitar pertengahan 1980-an. Ini terjadi pada pria muda yang menunjukkan tanda-tanda kelesuan, menolak berkomunikasi dan menghabiskan banyak waktunya di kamar.
Nggak ada alasan khusus mengapa orang-orang menjadi hikikomori. Beberapa dari mereka, seperti Kyoko, menarik diri dari masyarakat karena merasa nggak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidupnya. Juga nggak tahu cara menangani tekanan orang-orang di sekitarnya.
Menurut BBC, ada juga yang mengidap hikikomori karena kejadian buruk dalam hidupnya seperti nilai jelek atau patah hati.
“Hikikomori merasakan rasa malu yang mendalam karena mereka nggak mempunyai pekerjaan seperti orang normal. Mereka menganggap diri mereka nggak berharga dan nggak layak untuk kebahagiaan. Hampir semua hikikomori merasa dikhianati oleh ekspektasi orangtuanya,” jelas Sekiguchi Hiroshi, psikiater di Jepang.
Tamaki Saito, salah satu peneliti hikikomori, mengatakan, “Mereka tersiksa dengan pikirannya sendiri. Hikikomori ingin merasakan dunia luar, mencari teman atau pacar, tapi mereka nggak bisa.”