Follow Us

Intoleransi Mengancam, Saatnya Generasi Muda Untuk Bertindak!

Dio Firdaus - Kamis, 06 Februari 2020 | 10:21
Ilustrasi kunci melawan intoleransi, membangun toleransi.
(DOK KOMPAS/DIDIE SW)

Ilustrasi kunci melawan intoleransi, membangun toleransi.

HAI-ONLINE.COM- Dalam sejarah Indonesia, generasi muda selalu ada di setiap sudutnya. Rekam jejaknya nggak akan pernah hilang ditelan waktu.

Pada 1928 silam, para pemuda Indonesia berkumpul dengan berbagai gagasan yang membawa seluruh bumiputer keluar dari keterpurukan.

Menurut Benedict Anderson, Indonesianis ternama, pemuda-pemudi pada saat itu berimajinasi tentang sebuah komunitas besar yang disebut Indonesia.

Imajinasi itupun pada akirnya diuji oleh para pemuda dengan latar belakang etnis yang beragam di Kongres Pemuda II.

Proses yang panjang, perdebatan yang tak ada ujungnya nggak menghentikan para pemuda untuk menggagas hingga pada akhinrya menyepakati "bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu".

Puncak kesepatan untuk menyatukan perbedaan itu pun terjadi dengan perantara seni musik, yaitu saat WR Supratman memainkan lagu yang menyentuh kalbu seluruh peserta kongres dengan biola yang diberu judul "Indonesia Raya".

Pemuda menjadi "kids zaman now"

Pada masa revolusi kemerdekaan, istilah pemuda dibedakan dengan anak muda. Pemuda-pemudi adalah mereka yang berjuang, serta memikirkan dengan serius nasib masyarakat bumiputera.

Apabila seseorang berusia muda namun nggak memiliki karakter pejuang dan jiwa altruis, mereka hanya disebut sebagai anak muda.

Zaman pun berganti, istilah pemuda pada masa orde baru mulai terkikis, tergantikan dengan julukan remaja. Remaja nggak memiliki kriteria pembeda sebagaimana pada masa revolusi. Satu-satunya kriteria pembeda hanya usia.

Puncak pendangkalan makna pemuda terjadi pada pertengahan tahun 90an ketika julukan ‘ABG’ atau Anak Baru Gede mengemuka.

Lantas, kini pada era digital, anak muda dilabel sebagai ‘kids jaman now’ yang diasosiasikan dengan berbagai aksi lucu yang kerap viral di media sosial.

Ilustrasi
Shutterstock

Ilustrasi

Tak sebatas stereotype, para pemuda-pemudi kini juga harus berjuang menghadapi arus pasar global yang disebut-sebut memasuki era 4.0.

Pasca-reformasi politik yang diusung mahasiswa pada 1998, generasi muda yang besar pada 16 tahun pertama reformasi terkungkung dalam narasi pasar yang dibuka seluas-luasnya serta menyasar mereka sebagai konsumen.

Ditambah lagi, pada masa transisi politik dan ekonomi yang tengah mengalami desentralisasi, generasi muda dibiarkan tumbuh besar tanpa sebuah narasi kepemudaan. Sebuah narasi yang menempatkan mereka sebagai subyek perubahan bukan sebatas obyek.

Sebagai akibatnya, arus konservatisme yang tengah menglobal pun menjadi konsumsi baru para ‘kids zaman now’. Kini kebinekaan yang diusung oleh pemuda-pemudi revolusi tengah mengalami sebuah ujian besar.

Generasi muda penentu tren

Berbagai hasil riset sosial maupun marketing kini menempatkan generasi muda sebagai prioritas utama. Sebab, sejak percepatan adopsi media sosial serta smartphone pada tahun 2013, anak muda selalu memiliki peran ‘pivotal’ dalam diseminasi sebuah tren.

Secara spesifik, usia pivotal itu merentang pada usia 17-25 tahun. Pada rentang usia tersebut, seorang anak muda dapat mengambil aspirasi dari usia yang lebih muda, sebagai contoh berbagai permainan anak-anak seperti board games, lego, hingga mobile games kembali menjadi relevan.

Secara bersamaan, rentang usia pivot juga mempengaruhi usia yang lebih tua. Kini kita bisa melihat komunitas-komunitas dengan anggota berusia 40 tahun, bahkan 50 tahun ke atas turut mengikuti hobby dan lifestyle usia ‘pivotal’, dari musik hingga olahraga.

Tanpa banyak disadari, anak muda tetap menjadi demografi sentral dalam laju perubahan.

Laju perubahan tersebut akan semakin menguat ketika Indonesia memasuki masa bonus demografi, yaitu peristiwa demografi di mana usia produktif antara 15 hingga 64 tahun melebihi kelompok usia belia dan lansia.

Bonus demografi diprediksi akan mencapai puncaknya pada tahun 2028 hingga 2035. Pada masa itu, jumlah penduduk berusia muda akan melimpah.

Kepemimpinan dalam berbagai lini kehidupan pun akan mulai secara perlahan diduduki oleh generasi muda sebagai sebuah konsekuensi demografis.

Dengan demikian, penanaman nilai-nilai serta idealisme di usia pivotal merupakan investasi penting yang perlu dipikirkan saat ini.

Terkait dengan itu, Prof. Slamet Iman Santoso, salah satu bapak pendidikan kita telah mengatakan pada 1976 bahwa umur 5 hingga 20 tahun merupakan formative years. Setelah formative years, kepribadian menjadi stabil dan nggak berubah lagi.

Baca Juga: The Simpsons Disebut Telah Prediksi Wabah Virus Corona dari 27 Tahun Lalu

Musik sebagai piranti empati

Pada saat konggres Pemuda II, Wage Rudolf Supratman masih berusia sekitar 25 tahun. Dengan empat senar biolanya Wage berhasil menyentuh batin para peserta konggres untuk mengesampingkan perbedaan, menyatukan keinginan, serta mengukukuhkan imajinasi akan komunitas baru bernama Indonesia.

Sejalan dengan itu, Ernest Renan seorang filsuf terkemuka dari Perancis mengatakan dalam bukunya Qu’est-ce qu’une nation (apa itu sebuah bangsa), bahwa bangsa baru akan berdiri ketika terdapat keinginan besar untuk hidup bersama, dan ketika seluruh yang terlibat telah berhasil melepaskan berbagai identitas premordial mereka.

Merenungi kembali kiprah pemuda-pemudi di era revolusi kemerdekaan, kita akan menyadari bahwa para pemuda-pemudi telah berhasil untuk melepas segala bentuk fanatisme, etnosentrisme, dan egosentrisme mereka demi Indonesia.

Mereka adalah aktor utama dibalik semangat keberagamaan.

Ilustrasi pancasila
Shutterstock

Ilustrasi pancasila

Penulis: Dr Muhammad Faisal, Youth Researcher. Founder Youth Laboratory Indonesia. Penulis Buku 'Generasi Kembali Ke Akar'

Pop Culture, yang kini menjadi bahasa utama generasi muda dalam berekspresi, juga merupakan sebuah kultur yang merayakan keberagaman.

Sebab, kultur populer senantiasa bersifat demokratis, ia merupakan agregasi juga akumulasi nilai-nilai anak muda yang berada pada arus tengah.

Musik sebagai bagian dari kultur populer, tetap menjadi medium paling kuat dalam menyuarakan keberagaman. Berbagai temuan terkini dalam bidang neurosains mendukung hal tersebut, yaitu bahwa musik dapat mengoptimalkan berbagai simpul bagian otak manusia yang berhubungan dengan empati.

Aktivisme pemuda-pemudi abad 21

‘Kids jaman now’ telah kembali menjadi pemuda-pemudi sebagaimana pada era revolusi kemerdekaan.

Di luar dugaan, di tengah terpaan konsumerisme dan konservatisme, generasi muda Indonesia kembali menunjukkan sifat filantropis (meluangkan waktu dan tenaga untuk memikirkan permasalahan kemanusiaan).

Hal tersebut kita saksikan bersama-sama ketika generasi muda Indonesia kembali mengekspresikan aktivisme di ruang publik pada September hingga Oktober 2019 untuk mencabut revisi UU KPK.

Secara sporadis berbagai gerakan filantropis oleh generasi muda juga telah berkembang di berbagai daerah dalam bentuk aksi kreativitas; seperti transformasi kampung warna-warni di Jodipan Malang, hingga penyelamatan hutan melalui festival musik di Rimbang Baling Riau. Generasi muda telah kembali ke akar identitasnya sebagai ‘pemuda-pemudi’.

Mereka tengah meneruskan tongkat estafet imajinasi Indonesia, bahkan mengimajinasikan ulang ke-Indonesia-an kita.

Aktivisme akan menjadi tren baru bagi generasi muda di awal dekade ini. Aktivisme yang berpadu dengan kreativitas dan aktivisme yang lebur dengan musik serta seni pertunjukkan.

Permasalahan intoleransi yang berkembang di tengah masyarakat serta menghantui kebinekaan kita sebenarnya dapat diselesaikan dengan pendekatan terbaik apabila generasi muda diberikan ruang untuk berperan. Salah satunya melalui musik sebagai medium empati yang paling jitu.

Intoleransi nggak tepat dilawan dengan berbagai larangan-larangan baku, maupun indoktrinasi.

Paradigma konvensional ini perlu segera kita tinggalkan karena nggak sejalan dengan nilai-nilai kultur populer abad ke 21.

Sejarah konggres pemuda membuktikan bahwa pemuda-pemudi adalah agen kebinekaan yang terbaik.

Di tempat lain, musik adalah bahasa universal serta populer yang dapat menembus berbagai rintangan psikologis. Hanya musik yang mampu untuk menembus kalbu manusia tanpa perlawanan sengit.

Aktivisme pada abad ke 21 adalah aktivisme yang menempatkan musik dan generasi muda pada poros utama. Kita perlu ingat bahwa, melalui musik dan aktivisme Wage Rudolf Supratman Imajinasi Indonesia lahir.

Di masa depan melalui musik dan aktivisme pula Imajinasi tersebut akan terus ada.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Intoleransi Mengancam, Generasi Muda Bertindak"

Source : Kompas

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

Latest