Dikutip dari arsip majalah Hai edisi 03 2017
HAI-online.com - Tubuhnya jangkung dan tatanan rambut yang selalu terlihat klimis itu semakin menarik perhatian karena batik yang ia kenakan ketika beraksi di atas panggung. Bukan hanya karena dari tampilan visualnya, sosok ini dalam dua tahun terakhir kerap jadi topik obrolan banyak orang di scene musik, kiprahnya di industri musik sidestream bersama Barasuara lah yang jadi pemicunya.
Usia Barasuara masih sangat belia, tapi para awak yang ada di dalamnya, punya jam terbang yang cukup tinggi. Dan, yang menjadi “kapten” di antara para awak berpengalaman itu adalah sosok bernama Iga Massardi.
Iga dan Barasuara secara natural telah dijadikan barometer kesuksesan oleh para pelaku industri musik sidestream lainnya di tanah air. Suksesnya album Taifun serta padatnya jadwal tur dan manggung yang mereka dalam waktu singkat, hingga sering diundangnya Iga sebagai pembicara dalam seminar atau workshop tentang musik bisa jadi tolak ukurnya.
Lalu, bagaimana Iga menjawab jika ada asumsi pertanyaan seperti, “apakah Iga dan Barasuara adalah salah satu pemicu semakin bergeliatnya industri musik sidestream di Indonesia?
“Ketika gue memulai bikin Barasuara bukan dalam konteks ingin membantu (scene musik), tujuan awalnya cuma bikin musik, tok. Lalu, kemudian lewat album (Taifun) ini gue bisa ketemu dengan banyak banget orang baru, yang gue kenal, akhirnya jadi teman.Lalu apa yang gue coba lakukan setelahnya adalah mencoba untuk share pengalaman yang gue alami selama dua tahun terakhir bersama Barasuara,” kata Iga, panjang lebar.
Menurut cerita Iga, pertanyaan yang cukup banyak ditanyakan oleh mereka, dan pertanyaan itu agak sukar untuk dijawab Iga.
Baca Juga : Kebijakan-kebijakan Pemerintah Yang Meresahkan Musisi Dari Masa ke Masa
“Kadang beberapa pertanyaan ingin jawaban yang sederhana tapi manjur, seperti gimana cara supaya sukses? Kalo ditanya caranya gue nggak tau, gue jalanin ini (bermusik) dari umur 17 tahun, dan gue jawabnya cuma, lo harus latihan dan membuka diri untuk bisa bekerja sama dengan orang, jawabannya jadi sangat general, karena gue melakukan itu semua, gue nggak punya resep manjur!” tutur anak dari sastrawan senior Indonesia itu, Yudhistira ANM Massardi tersebut.
Apa yang dialami Iga dan kesuksesannya bersama Barasuara sama sekali bukan sesuatu yang instan. Setelah ia berkelana ke berbagai band, dengan ragam jenis musik yang dimainkan, barulah takdir mepertemukannya dengan Barasuara. Bahkan, pengalaman keterpurukan finansial Iga sebagai konsekuensinya memilih jalur hidup sebagai seorang musisi pun tanpa sungkan ia akan ceritakan jika ada yang bertanya, siapa tau ada pengalaman yang bisa diambil oleh teman-teman yang akan “hijrah” hidup sebagai seorang full musician.
Akumulasi dari semua itulah, yang akhirnya membuat Iga merasa harus melakukan sesuatu. Hingga muncul sebuah konsep untuk membuat workshop yang ditujukan untuk mengakomodir semua pertanyaan orang-orang.