HAI-Online.com - Sampai tanggal 15 Agustus 2018 kemarin, jumlah korban jiwa akibat gempa bumi di Lombok sudah mencapai 436 orang. Setelah gempa 7 SR itu mengguncang Lombok, jumlah pengungsi mencapai 352 ribu orang yang tersebar di ribuan titik pengungsian.
Dampak ini masih disusul sama angka-angka mengkhawatirkan yang berdampak langsung sama kondisi fisik dari pulau yang ada di Nusa Tenggara Barat itu. Total ada 67 ribu unit rumah, 600-an sekolah, berbagai fasilitas umum, dan jalan raya yang menderita kerusakan. Selain itu aspek pariwisata NTB juga terancam lumpuh selama 5 tahun ke depan.
Status Bencana Lombok
Bicara soal status bencana Lombok, sejauh ini pemerintah belum menetapkan gempa Lombok ini sebagai bencana nasional. Praktisi penanggulangan bencana di Indonesia kebelah dua dalam menyikapi hal ini.
Ada yang bilang kalo bencana gempa Lombok ini harus banget ditetapkan sebagai bencana nasional. Sedangkan pihak lain, termasuk pemerintah, bilang kalau bencana ini nggak perlu dijadikan bencana nasional.
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) Sutopo Purwo Nugroho bilang kalau suatu bencana akan ditetapkan sebagai bencana nasional kalau korbannya banyak dan melingkupi daerah yang luas.
"Pemerintah daerah juga jadi korban dan lumpuh total sehingga fungsi-fungsi kepemerintahan tidak berjalan," kata Sutopo.
Selain itu, wewenang deklarasi dan penetapan bencana nasional ada di tangan presiden.
Syarat tentang masih berfungsinya pemerintah daerah itu sebenernya adalah syarat yang nggak tertulis dalam Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana. Syarat itu masih berupa wacana baru, sob.
Satu hal yang penting sih, gimana caranya status yang nantinya bakal diberikan bisa memberi dampak buat operasi penanggulangan kedaruratan sampai 3 bulan ke depan. Apakah bisa membantu dalam hal rekonstruksi rumah, sekolah, dan gedung-gedung juga bisnis dan ekonomi secara keseluruhan di NTB untuk 3 tahun ke depan.
Tantangannya nggak cuman mentok di urusan tempat tinggal layak buat mereka yang selamat, sob. Apalagi kebutuhan rekonstruksi bisa jadi jauh lebih besar dari estimasi kerugian BNPB yang berkisar di angka 5,04 triliun.
Aturan Penetapan Status Bencana
Ngomongin penetapan status bencana ini, emang apa aja sih aturannya? Menurut Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa "Penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana."
Jadi, untuk tingkat nasional ditetapkan sama presiden, tingkat provinsi sama gubernur, dan tingkat kabupaten/kota sama bupati/wali kota.
Sementara menurut Undang-undang Penanganan Bencana, penetapan status darurat bencana ini dilakukan oleh pemerintah tapi berdasarkan rekomendasi dari pihak yang diberi tugas menanggulangi bencana. Bisa BNPB atau badan lain yang udah ditunjuk sama presiden.
Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah ini punya lima variabel utama:
1. Jumlah korban
2. Kerugian harta benda
3. Kerusakan sarana dan prasarana
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana
5. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan
Tapi sob, kalau dilihat sih kelima variabel di atas belum cukup buat memandu para pengambil keputusan untuk menentukan status bencana nasional. Makanya, disebutkan dalam Undang-undang Penanganan Bencana bahwa ketentuan lebih lanjut soal penetapan status dan tingkatan bencana perlu diatur lagi dengan peraturan presiden lain yang sampe sekarang belum diterbitkan.
Tradisi Penetapan Status Bencana
Untuk menetapkan sebuah bencana sebagai bencana nasional biasanya ada dua pola, ex-ante (ditetapkan sebelum ada korban) dan ex-post (ditetapkan setelah terjadi bencana).
Dari sisi ex-ante, biasanya ditetapkan setelah ada pemicu. Dalam hal ini, ya gempa Lombok yang berkekuatan 7 SR. Ada dua prinsip utama dalam penetapan dari sisi ex-ante.
Pertama, adalah untuk menyatakan bahwa komando diambil alih sama pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Mulai dari operasi kedaruratan dan rekonstruksi pasca bencana.
Lima kriteria yang udah disebutin di atas juga sering dipakai. Bencana yang ditetapkan sebagai bencana nasional misalnya, tsunami Aceh 2004 dan gempa Flores 1992. Dampak bencana jauh lebih besar daripada kemampuan pemerintah daerah buat mengelola kebutuhan respon darurat dan rekonstruksi.
Kedua, supaya pemerintah pusat punya kemudahan akses untuk bisa mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, logistis, percepatan imigrasi, cukai, karantina, perizinan, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan dan pertangungjawaban uang dan barang, fungsi penyelamatan, serta komando lintas sektor dan lembaga.
Plus Minus Penetapan Status Bencana Nasional
Kalau ngeliat manfaatnya sih, banyak banget ya sob. Terus kenapa sih pemerintah sering nggak mau menetapkan peristiwa bencana sebagai bencana nasional?
Biasanya, banyak salah kaprah yang bisa muncul kalau pemerintah mendeklarasikan sebuah bencana sebagai bencana nasional. Bakal ada pihak yang menilai kalau pemerintah daerah dan pusat kurang mampu menangani bencana. Pemerintah dianggap berusaha untuk mencari bantuan dari internasional.
Makanya, diperlukan juga pertimbangan soal perlu nggak sih sebuah bencana tertentu disebut sebagai bencana nasional. Pertama, perlu dipertimbangkan apakah bener ada hambatan mobilisasi sumber daya dan aset nasional. Terus, apa pemerintah daerah mampu mengkoordinasi respon darurat saat ini.
Selain itu, sebenernya tantangannya itu nggak cuman berpusat sama masalah keuangan dan sumber daya. Tapi gimana sih sistem administrasi dan rekonstruksi bakal bisa membangun bangunan yang lebih baik dan tahan gempa.
Yang miris adalah, hampir semua pemerintah daerah di Indonesia tidak memiliki agenda membangun rumah yang lebih tahan gempa dalam 10 tahun terakhir.
Pemerintah sejauh ini cuman memantau secara dekat dan mendukung pemerintah daerah NTB lewat banyak sumber. Misalnya dengan dana, logistik, dan sumber daya manusia.
Pemerintah secara umum udah gagal melakukan mitigasi bencana, mencegah dampak yang besar dari gempa, dan akhirnya menyebabkan kehancuran fisik yang parah. Intinya sih, kalau emang status bencana tidak menjadi bencana nasional, apakah pemerintah daerah NTB akan bisa membangun bangunan yang lebih baik, tahan gempa, dan tahan banting jika nanti ada ancaman alam lainnya di masa depan.
Di sadur dari tulisanJonatan A Lassa, Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society, Charles Darwin University dan Mujiburrahman Thontowi, PhD Student, Charles Darwin University yang tayang di The Conversation Indonesia