Follow Us

Bagaimana Arus Pinggir Skena Musik Indonesia Semakin Deras

Fadli Adzani - Jumat, 09 Maret 2018 | 02:30
Gigs Lokal
Fadli Adzani

Gigs Lokal

Perlu diketahui, usaha Ameng mengenalkan grup musik arus pinggir itu sangat unik. Suatu saat, ia mengadakan acara musik di Galeri Nasional. Kala itu, ia memanggil band-band kecil untuk manggung, pun yang sangat terkenal. Namun, ia malah memberi panggung yang besar kepada grup musik kecil, stage untuk band besar ia tempatkan di ruang sempit.

“Biar masyarakat bisa nonton (band) yang baru, yang ruang kecil (untuk band besar) biar pada rebutan. Nggak perlu lagi ditonton sama orang banyak, yang baru-baru yang mesti ditonton,” katanya.

Nggak cuma itu, perjuangan Ameng dalam menciptakan pasar baru bagi musisi-musisi arus pinggir juga ditandai dengan berdirinya gigs rutin bernama Superbad! Sejak tahun 2008, setiap bulannya, Ameng bersama Keke Tumbuan menggelar acara itu di Jaya Pub, Thamrin, Jakarta Pusat.

“Harus melakukannya dengan rasa senang, kalo nggak senang, ya ngapain? Jangan ekonomi (uang) yang jadi motif awal, walau nggak salah, tapi kita harus lebih mengutamakan penemuan baru. Kita kasih yang beda, dan pasti akan susah cari sponsor dan dana, karena mereka udah mau yang jadi,”

Untuk mengadakan acara musik yang layak, Jaya Pub sebenarnya tidak terlalu nyaman untuk dijadikan panggungnya para musisi. Tempatnya yang kecil dan sumpek membuat orang-orang yang berdatangan jadi susah jalan, kadang mereka harus berdesak-desakkan untuk menonton band kesukaan mereka.

Tapi, Ameng punya pendapat lain. Menurutnya, ruang-ruang seperti itulah yang harus diperbanyak.

“Keintiman adalah hal yang istimewa dalam musik sidestream. Kalo di panggung gede, lo nggak akan ketemu sama band-band lain di backstage dan akan ada jarak antara penampil dan penonton. Makanya, tempat-tempat manggung (kecil) seperti Rossi, Borneo dan Jaya Pub itu penting banget dan harus diperbanyak,” curhatnya.

MENYULAP GUDANG

Ngomongin tentang menciptakan pasar, Ameng beserta temannya dari Ruru, Ade Darmawan, menemukan sebuah “taman bermain” bagi para seniman, termasuk musisi, untuk menuangkan kreativitasnya. Ya, Gudang Sarinah, tempat yang akhir-akhir ini ramai dikunjungi anak muda. Kebangkitan gudang yang udah lama “mati” ini ditandai oleh acara Jakarta Biennale 2015 yang diadakan oleh Ruang Rupa (Ruru).

“Gudang Sarinah itu mewah, luasnya 2,5 hektar, posisinya di tengah kota, sangat bagus jika dijadikan tempat pusat kreativitas. Jakarta harus memiliki tempat seperti ini, gimana caranya kita bisa nyaingin 150 mall kalo nggak ada tempat seperti Gudang Sarinah?” ungkapnya.

Mengelola Gudang Sarinah tentu aja nggak murah, bagi Ruru, mengeluarkan uang sendiri untuk menjaga eksistensi tempat tersebut nggak jadi masalah. Mereka sangat terbuka untuk bekerjasama dengan pihak lain demi menghidupi ekosistem baru, bahkan sama pemerintah sekalipun. Namun, mereka tidak menerima intervensi, pokoknya, seniman harus mandiri.

Belum lama ini, sebuah perusahaan rokok ternama di Indonesia, menggunakan tempat di Gudang Sarinah untuk mengadakan acara musik besar-besaran dengan line-up band sidestream yang namanya udah sangat beken. Itu membuktikan bahwa keberadaan musisi arus pinggir mulai diperhitungkan.

Editor : Hai

Baca Lainnya

PROMOTED CONTENT

Latest