Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Mengintip Cara Kerja Wartawan Petualang di National Geographic: Asiknya Menjelajah, Meneliti dan Bercerita Tentang Semesta

Dewi Rachmanita - Rabu, 17 Januari 2018 | 02:45
Situs Segeran di Twoulan, Mojokerto, Jawa Timur. Penugasan untuk menyingkap reruntuhan permukiman Ibu Kota Majapahit, sebuah metropolitan yang hilang. Terbit di National Geographic Indonesia edisi September 2012.
Dwi Oblo / National Geographic

Situs Segeran di Twoulan, Mojokerto, Jawa Timur. Penugasan untuk menyingkap reruntuhan permukiman Ibu Kota Majapahit, sebuah metropolitan yang hilang. Terbit di National Geographic Indonesia edisi September 2012.

HAI-online.com - Kalau kamu suka jalan-jalan sekaligus motret atau mencatat, berarti profesi wartawan petualan cocok banget untukmu. Tapi, kalau sudah mengemban tugas nanti, yang kamu butuhkan bukan saja kelihaian mencapai tempat-tempat susah, lho. HAI tahu setelah wawancara Mahandis Yoanata Thamrin selaku Managing Editor National Geographic Indonesia. Ternyata, jadi jurnalis di media yang sudah ada sejak tahun 1883 ini punya banyak cerita tersendiri loh yang penuh dengan pengalaman perjalanan di semesta yang luas.

Dikirim ke berbagai wilayah berbeda untuk meliput satu topik soal pengungsi dari Myanmar atau liputan selama satu tahun penuh tentang Ibu Kota Majapahit, hanyalah sebagian dari pengalaman sebagai wartawan petualang yang pernah dirasakan Mas Yoan, sapaannya.

Oh ya, untuk yang belum tahu, majalah yang berpusat di Washington, Amerika Serikat ini sudah diterjemahkan ke banyak bahasa di lebih dari 30 negara. Nggak heran, kalau banyak anak muda yang kepengen banget untuk gabung di keredaksian majalah ini. Apalagi membayangkan liputan ke beragam peristiwa dan tempat menarik yang bisa diulas dalam dan memikat. Tulisan yang begitu hidup dan foto-foto dengan pemaknaan dalam hadir di majalah National Geographic dan bikin pembacanya serasa masuk langsung ke peristiwa yang dialami jurnalis.

Buat yang penasaran seperti apa profesi jurnalis National Geographic ini, Mas Yoan banyak bagi cerita tentang pengalamannya kerja selama hampir 8 tahun di sana.

Mas Yoan sendiri awalnya bukan berasal dari bidang pendidikan jurnalistik loh. Ia memulai karirnya di bagian riset. Namun, hal itu bukan berarti Mas Yoan nggak bersinggungan dengan praktik jurnalistik. Dia memang sudah aktif menulis blog, bahkan saking ramainya pengunjung sering ada diskusi yang terjadi di blog-nya tersebut.

BACA JUGA:Suka Bela Diri? Daripada Ribut Cari Musuh, Mending Kamu Geluti Profesi StuntFighter untuk Film. Ini Tipsnya

"Waktu itu aku di luar keredaksian, tapi hobiku tuh lebih ke travelling ke tempat-tempat heritage atau sejarah yang ada kaitannya dengan peninggalan budaya dan kolonial," tutur Mas Yoan.

Dari blog itulah guys Mas Yoan belajar banyak soal cara kerja jurnalistik. Mulai dari menyusun cerita, mencari foto yang bagus dan kira-kira orang akan tercengang. Walaupun tempat yang Mas Yoan kunjungi sudah pernah didatangi orang lain, itu nggak menutup kemungkinan tulisan bisa menarik juga tergantung cara kita menyajikannya.

Sepak terjang Mas Yoan dalam penulisan travelling itulah yang mengantarnya masuk ke National Geographic Indonesia. Sebelumnya ia juga pernah diminta untuk menjadi text editor dalam suatu ekspedisi. Akhirnya 2010 Mas Yoan fix deh jadi jurnalis National Geographic Indonesia.

Bisa menulis untuk edisi pusat dan negara lain, loh!

Ini nih salah satu keuntungan yang bisa kamu dapat kalau jadi jurnalis di National Geographic. Tulisanmu bisa saja diterbitkan oleh National Geographic pusat di Amerika Serikat atau negara-negara lain. Tiap negara memang diperbolehkan membuat konten lokal. Porsinya kira-kira sekitar 75% dari pusat di Amerika Serikat dan sisanya konten lokal (tiap negara masing-masing). Nah, semua edisi mengikuti standar itu, termasuk prosedural dalam sebuah laporan biar bisa jadi berita.

Mungkin ini nih yang agak berbeda dengan media lain. Kalau di National Geographic semua harus disetujui kantor pusat. Jadi, pertama-tama bikin dulu proposal pendek yang intinya sih ada latar belakang, permasalahan yang mau diangkat, cara pendekatan ke narasumber atau objek liputan untuk ditampilkan di teks. Nggak cuma itu, tapi juga sampai perkiraan foto dan infografis serta peta akan berisi apa saja. Semua seperti daftar belanjaan dan dikirim ke Washington.

"Mungkin banyak media franchise lain yang sekadar meramu atau menerjemahkan tanpa harus review detil. Sedangkan kita, mulai dari mengusulkan cerita sudah harus sedetil itu," tutur Mas Yoan.

National Geographic Travel dalam suatu liputan soal candi pernah loh dimuat ke versi Thailand. Itu karena ada benang merah yang cocok bagi masyarakat Thailand. Kamu juga bisa nulis memang untuk majalah versi pusat, semua tergantung dari topik yang kamu ajukan di awal.

Memang apa yang lagi yang membedakan National Geographic dengan media lain?

Dari mulai cakupan topiknya saja mungkin sudah terlihat jelas perbedaan dengan media lain nih. Majalah ini mengupas segala hal di alam semesta. Hal itu tercermin dari bendera National Geographic sendiri yang berwana biru-cokelat-hijau. Tiap warna punya arti tersendiri loh, biru menggambarkan angkasa, cokelat untuk daratan, dan hijau lautan.

Majalah ini bahas banyak hal, mulai dari manusia, alam, sejarah dan budaya, sampai luar angkasa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat pun demikian, termasuk teknologi.

"Di National Geographic juga menariknya karena kita membuat feature seperti membuat adegan-adegan di story board film." Mas Yoan nambahin juga, bisa aja nih akhir suatu liputan itu merupakan adegan pertama dalam sebuah tulisan. Perlu ada sinematik dalam tulisan. Panca indera pun semuanya dipakai, jadi tulisan lebih berwarna.

Kalau di media daringnya sendiri pun National Geographic punya ciri khas tersendri. Sebagian feature di majalah akan terbit di versi online. Artikel-artikelnya menganut gaya mini feature, tapi dibuat lebih memikat. Nggak garing dan tentu cukup mendalam layaknya ciri utama di National Geographic. Bukan sekadar artikel, tapi ada kutipan-kutipan narasumber, sedikit drama, dll.

Oiya, ada yang menarik nih dalam keredaksian dan orang-orang di balik majalah ini. Nggak cuma hanya visual editor, editor, designer, penulis, tapi juga ada kartografer atau orang yang ahli dalam membuat peta. Jangan heran makanya mengapa majalah ini sering kasih bonus peta yang melengkapi data dalam suatu tulisan dengan desain yang ciamik serta akurat.

Antar orang di dalam media ini perlu kerja sama yang kompak, apalagi kalau bikin peta. Contohnya nih waktu Mas Yoan liputan soal Ibu Kota Majapahit selama satu tahun. Ia harus mampu memvisualisasikan hasil observasi dan wawancaranya untuk menjadi peta. Tentunya juga berkat kerja sama dengan para arkeolog yang bekerja di sana. Sewaktu liputan, Mas Yoan perlu mengamati dengan seksama letak-letak benda pra sejarah itu. Selain itu mengaitkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.

Salah satu yang membedakan juga ialah soal daya tembus majalah ini. Nama media ini yang tersohor ternyata punya pengaruh dalam suatu liputan. Mas Yoan pernah dapat wawancara ekslusif dengan pengungsi Myanmar yang terdampar dan beberapa dilarikan ke rumah sakit. Saat itu, sebenarnya sulit sekali menembus untuk wawancara karena selalu dijaga ketat oleh polisi dan imigrasi di rumah sakit. Berkat kegigihan dan asal media, Mas Yoan berhasil wawancara dan mengulik lebih dalam tentang cerita para pengungsi.

"Oh kamu dari National Geographic Indonesia? Kalau begitu saya mau diwawancara," ujar pengungsi dari Myanmar seperti yang dicontohnya Mas Yoan.

BACA JUGA:8 Profesi Unik Ini Cuma Bisa Kamu Temuin di Indonesia!

Mau Menulis Untuk Natgeo? Ini Caranya.

Siapa bilang menulis untuk National Geographic Indonesia hanya untuk wartawannya saja. Memang jadi wartawan media ini tuh asik banget. Tapi, bagi kamu yang belum punya kesempatan bisa juga coba kirim tulisan atau foto.

Mas Yoan sendiri juga bilang kalau selama ini National Geographic Indonesia sangat terbuka untuk para kontributor. Biasanya mereka yang sudah sering jadi kontributor memiliki keahlian tertentu dalam suatu bidang. Contohnya tentang taman nasional, orang yang menulis tentu tahu tentang hukum dan perundang-undangannya, lingkungan hidup, dll.

Bukan itu saja, kamu juga bisa ikut berkontribusi di National Geographic Indonesia asal punya tulisan dan foto jurnalistik yang bagus. Media ini punya punya bobot tersendiri soal standardisasi hal tersebut.

"Mungkin tulisan sudah cukup menarik di media lain, tapi belum tentu di National Geographic Indonesia," ujar Mas Yoan.

Mas Yoan kasih contoh sewaktu liputannya soal makan di Bogor. Mungkin selama ini menurutnya orang nggak sadar ada makam itu, kalaupun sadar dianggap angin lalu. Nah, di sini butuh kejelian seorang wartawan untuk selalu kepo dan menelisik sampai tuntas suatu hal. Ternyata, setelah nisan diterjemahkan, itu merupakan makam Gerrit, tuan tanah sewaktu zaman kolonial.

Harus suka alam dan jago foto nggak, ya?

Banyak nih mungkin yang ragu dengan profesi ini karena minder duluan nggak suka menjelajah alam atau foto bagus? Ya, dasarnya memang harus menyukai semesta dan segala isinya, bro. Selain itu juga harus mampu mengemas penjelajahan itu menjadi menarik. Hal ini seperti yang dibilang Alexander Graham Bell kalau dunia dan segala isinya itu menarik dan kalau kita (National Geographic) nggak bisa bikin itu lebih menarik lagi buat orang-orang, ya sebaiknya majalah ini ditutup saja.

Jadi, tujuannya sih membuat semesta yang menarik dan menyampaikannya itu ke masyarakat. Nggak harus alam juga kok, kan ada manusia dengan budayanya bahkan alam semesta.

Pernah suatu liputan, Mas Yoan bersama warga setempat mencari sebuah goa. Setelah masuk ke belantara hutan enggak ketemu juga. Ternyata goa yang dimaksud letaknya di pinggir jalan utama. Nah, jadi jiwa suka alam ya sebenarnya cukup penting juga untuk sampai atau mencari tempat-tempat yang jadi sumber berita.

Masalah foto, biasanya sih di National Geographic dalam suatu liputan terdiri dari dua orang, yakni penulis dan fotografer. Masing-masing dari mereka fokus untuk menangkap momen suatu peristiwa. Tapi, nggak jarang juga beberapa kali harus sendiri dan merangkap tugas walau ini bakal berat banget serta banyak momen yang mungkin terlewat. Keahlian foto yang terpenting dalam media ini ialah foto yang dihasilkan bertutur.

Foto yang bertutur itu sendiri menurut Mas Yoan yang seenggaknya menceritakan adegan kunci dan penting suatu peristiwa atau tempat. Foto-foto itu harus menjawab nih mengapa harus ada, lalu nggak ada foto berulang. Ya intinya merupakan photo story, bro.

Untuk menghasilkan karya jurnalistik, baik tulisan maupun foto yang bagus butuh perjuangan loh. Salah satu kuncinya ialah dari pendekatan ke narasumber. Ini nih yang merupakan kunci utama. Kalau pendekatannya lancar dan berjalan baik, data yang didapat bisa berlimpah dan memperkaya tulisan.

Buat kamu yang tertarik jadi jurnalis National Geographic atau media lain pada umumnya ada baiknya untuk membiasakan banyak membaca. Ini penting karena mengasah kemampuan untuk mengamati keadaan, melatih berpikir kritis, dan menambah wawasan. Nggak harus buku, tapi juga media-media digital lain. Nantinya bisa dapat ide-ide menarik dalam suatu liputan. Nah, soal kemampuan teknis dalam penulisan dan foto modal utamanya memahami karakteristik National Geographic itu sendiri. Pelajari dulu seperti apa ciri tulisan dan foto yang ada.

Kalau kamu jadi jurnalis di National Geographic, kata Mas Yoan sih banyak bertemu dengan banyak orang yang punya banyak cerita juga. Dari situlah jadi punya pelajaran tersendiri yang menggugah minat insani. Relasi pun makin kuat dan luas ke banyak orang. Beragam hal baru pun bakal kamu temuin selama liputan, bahkan jadi orang pertama yang mengungkap hal tersebut!

Makin tertarik jadi wartawan petualang?

(Penulis: Dewi Rachmanita)

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x