Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Mengintip Cara Kerja Wartawan Petualang di National Geographic: Asiknya Menjelajah, Meneliti dan Bercerita Tentang Semesta

Dewi Rachmanita - Rabu, 17 Januari 2018 | 02:45
Situs Segeran di Twoulan, Mojokerto, Jawa Timur. Penugasan untuk menyingkap reruntuhan permukiman Ibu Kota Majapahit, sebuah metropolitan yang hilang. Terbit di National Geographic Indonesia edisi September 2012.
Dwi Oblo / National Geographic

Situs Segeran di Twoulan, Mojokerto, Jawa Timur. Penugasan untuk menyingkap reruntuhan permukiman Ibu Kota Majapahit, sebuah metropolitan yang hilang. Terbit di National Geographic Indonesia edisi September 2012.

"Mungkin banyak media franchise lain yang sekadar meramu atau menerjemahkan tanpa harus review detil. Sedangkan kita, mulai dari mengusulkan cerita sudah harus sedetil itu," tutur Mas Yoan.

National Geographic Travel dalam suatu liputan soal candi pernah loh dimuat ke versi Thailand. Itu karena ada benang merah yang cocok bagi masyarakat Thailand. Kamu juga bisa nulis memang untuk majalah versi pusat, semua tergantung dari topik yang kamu ajukan di awal.

Memang apa yang lagi yang membedakan National Geographic dengan media lain?

Dari mulai cakupan topiknya saja mungkin sudah terlihat jelas perbedaan dengan media lain nih. Majalah ini mengupas segala hal di alam semesta. Hal itu tercermin dari bendera National Geographic sendiri yang berwana biru-cokelat-hijau. Tiap warna punya arti tersendiri loh, biru menggambarkan angkasa, cokelat untuk daratan, dan hijau lautan.

Majalah ini bahas banyak hal, mulai dari manusia, alam, sejarah dan budaya, sampai luar angkasa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat pun demikian, termasuk teknologi.

"Di National Geographic juga menariknya karena kita membuat feature seperti membuat adegan-adegan di story board film." Mas Yoan nambahin juga, bisa aja nih akhir suatu liputan itu merupakan adegan pertama dalam sebuah tulisan. Perlu ada sinematik dalam tulisan. Panca indera pun semuanya dipakai, jadi tulisan lebih berwarna.

Kalau di media daringnya sendiri pun National Geographic punya ciri khas tersendri. Sebagian feature di majalah akan terbit di versi online. Artikel-artikelnya menganut gaya mini feature, tapi dibuat lebih memikat. Nggak garing dan tentu cukup mendalam layaknya ciri utama di National Geographic. Bukan sekadar artikel, tapi ada kutipan-kutipan narasumber, sedikit drama, dll.

Oiya, ada yang menarik nih dalam keredaksian dan orang-orang di balik majalah ini. Nggak cuma hanya visual editor, editor, designer, penulis, tapi juga ada kartografer atau orang yang ahli dalam membuat peta. Jangan heran makanya mengapa majalah ini sering kasih bonus peta yang melengkapi data dalam suatu tulisan dengan desain yang ciamik serta akurat.

Antar orang di dalam media ini perlu kerja sama yang kompak, apalagi kalau bikin peta. Contohnya nih waktu Mas Yoan liputan soal Ibu Kota Majapahit selama satu tahun. Ia harus mampu memvisualisasikan hasil observasi dan wawancaranya untuk menjadi peta. Tentunya juga berkat kerja sama dengan para arkeolog yang bekerja di sana. Sewaktu liputan, Mas Yoan perlu mengamati dengan seksama letak-letak benda pra sejarah itu. Selain itu mengaitkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.

Salah satu yang membedakan juga ialah soal daya tembus majalah ini. Nama media ini yang tersohor ternyata punya pengaruh dalam suatu liputan. Mas Yoan pernah dapat wawancara ekslusif dengan pengungsi Myanmar yang terdampar dan beberapa dilarikan ke rumah sakit. Saat itu, sebenarnya sulit sekali menembus untuk wawancara karena selalu dijaga ketat oleh polisi dan imigrasi di rumah sakit. Berkat kegigihan dan asal media, Mas Yoan berhasil wawancara dan mengulik lebih dalam tentang cerita para pengungsi.

"Oh kamu dari National Geographic Indonesia? Kalau begitu saya mau diwawancara," ujar pengungsi dari Myanmar seperti yang dicontohnya Mas Yoan.

BACA JUGA:8 Profesi Unik Ini Cuma Bisa Kamu Temuin di Indonesia!

Editor : Hai

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

x