Permasalahan pajak penulis ini menyeruak setelah Tere Liye, penulis yang novelnya digandrungi banyak temen-temen kita, curhat di akun Facebook-nya, pada 5 September 2017.
Penulis bernama asli Darwis ini bilang bahwa pajak yang dikenakan negara ke para penulis buku tuh gede banget. Dibanding profesi lain pun, pajak yang dikenakan ke profesi penulis tetep lebih besar.
Sebagai pernyataan sikap, Tere Liye sampai memutus kontrak dengan dua penerbit bukunya, Gramedia Pustaka Utama dan Republika.
HAI tahu kamu pasti sering melihat berita ini berseliweran tapi yang kamu tangkap cuma dua kata kuncinya, "Tere Liye" dan "Pajak". Iya nggak? hehe. Karena itu HAI mau coba merangkumkan untukmu. Simak, yuk!
1. Pajaknya Emang Gede Banget!
Tindakan Tere Liye wajar adanya, bro. Coba aja kamu lihat nih besaran angka pajaknya. Pendapatan penulis dari buku yang dibuatnya itu menggunakan sistem royalti. Besarnya 10-15% dari harga jual. Misalnya, jika buku dijual Rp 70.000 maka penulis mendapat Rp 10.000 dari tiap buku yang terjual.
Nah, dari Rp 10.000 itu penulis dikenakan pajak yang dianggap menyiksa.Tere Liye menulis begini:
"Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto. Nggak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya."
"Jadilah pajak penulis buku: 1 milyar dikalikan layer tadi langsung. 50 Juta pertama tarifnya 5 persen, 50-250 juta berikutnya tarifnya 15%, lantas 250-500 juta berikutnya tarifnya 25 persen. Dan 500-1 milyar berikutnya 30 persen. Maka total pajaknya Rp 245 juta."
DitjenPajakRI memberi penjelasan mudah tentang besaran pajak yang dikenakan ke profesi penulis lewat sebuah Tweet.
simak:
Hhhmmm. .gini nih kira-kira ilustrasi pajak atas penulis. pic.twitter.com/irAX0ALo6N