Nah, kebetulan pikirnya. "Saya tak lagi mikir jenis kainnya bermutu atau nggak. Meski saya lihat sudah nggak begitu bagus bahkan sudah robek, pokoknya kain tersebut masih bisa dipakai," kenangnya.
Maklum, di zaman Jepang mutu kain yang dipunya rakyat amat jelek.
Terdorong rasa kebangsaan yang meluap-luap untuk segera mendapatkan kain bakal bendera itu, Kustaryo segera mendatangi si pemilik warung tenda.
Satu-satunya yang dipikirkan, bagaimana caranya mendapatkan barang tersebut.
"Saya beli kain ini dengan harga Rp500,00, terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri. Melihat uang segitu banyak, si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu nggak berlangsung lama."
Setelah itu buru-buru ia membawa kain merah tersebut ke rumah Ibu Fat. Begitu diserahkan, Kustaryo langsung pergi lagi.
Bahkan ketika bendera itu dikibarkan pada saat proklamasi, ia pun nggak tahu.
"Setelah itu saya lalu pergi dari Jakarta, kembali bergabung dengan rekan-rekan pejuang lain. Maklum waktu itu tentara Jepang yang bersenjata masih banyak berkeliaran. Belum lagi pasukan Inggris," kenangnya.
Selang beberapa tahun kemudian, suatu hari Kustaryo ketemu Ibu Fat lagi di Yogyakarta.
Iseng-iseng ia bertanya apakah bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi tersebut, adalah bendera yang kain merahnya pemberian dia dulu.
"Bu Fat menjawab, benar! Kain merah yang saya jahit itulah pemberian Saudara. Saudara memang sungguh berjasa. Terima kasih ... saya sampai lupa," begitu jawaban Ibu Fat seperti yang ditirukan Kustaryo.