Denmark (juara Euro 1992) dan Jepang (juara Piala Asia 1992) bersaing dengan wakil Conmebol (Argentina), Concacaf (Meksiko), dan CAF (Nigeria).
"Pelatih kami, Richard Moller-Nielsen mengatakan bahwa ini akan menjadi turnamen yang lebih sulit dari Euro. Terkesan aneh, tapi ia benar sebab kami bermain melawan tim dengan gaya yang tidak familier, seperti Meksiko dan Argentina," kata penyerang Denmark di King Fahd Cup 1995, Brian Laudrup.
Dilirik FIFA
Keunikan King Fahd Cup menarik perhatian FIFA. Organisator sepak bola dunia itu akhirnya mengambil alih hak penyelenggaraan King Fahd Cup dan mengubah namanya menjadi Piala Konfederasi.
Di bawah naungan FIFA, Piala Konfederasi pertama kali diputar pada 1997 di Arab Saudi.
Kontestan bertambah menjadi delapan tim. Juara Piala Dunia 1994 (Brasil) dan kampiun OFC Nations Cup (Australia) turut ambil bagian. Piala Konfederasi lantas menjadi agenda rutin FIFA yang diputar tiap dua tahun sekali.
Namun, kian padatnya jadwal pertandingan sepak bola di era modern sempat membuat Piala Konfederasi dianggap sebagai gangguan ekstra. Meninggal dunianya pemain Kamerun, Marc-Vivien Foe, di tengah-tengah pertandingan pada edisi 2003 kian menambah kecaman.
FIFA pun membuat kebijakan baru. Mulai edisi 2005, Piala Konfederasi digelar setiap empat tahun sekali.
Turnamen ini lantas menjadi ajang gladi resik guna menguji kesiapan sekaligus infrastruktur negara tuan rumah Piala Dunia.
Tapi, masa depan Piala Konfederasi tengah dipertanyakan. Muncul kabar bahwa Rusia 2017 bakal menjadi edisi terakhir Piala Konfederasi.
"Jika nggak ada Piala Konfederasi pada 2021, saya nggak akan merasa kecewa," ujar pelatih Jerman, Joachim Loew. Waduh! Kok, jadi gini?
Nah, pada November tahun lalu, FIFA mengakui bahwa ada pembahasan serius terkait Piala Konfederasi. Perubahan mesti dilakukan mengingat Piala Dunia 2022 di Qatar berlangsung pada November, bukan Juni.