Tahun 2012 silam, berangkat dari keinginan untuk meluapkan kegelisahan akan isu sosial politik dan musik, Tomi Wibisono bersama rekannya Soni Triantoro merintis WARNING Magazine. Sebuah media independen yang bermarkas di Kota Pelajar Yogyakarta.Berisikan kawula muda (mahasiswa) yang haus akan pengamalan akan jurnalistik, khususnya musik.
Perantau asal Balikpapan ini menyulap kontrakannya yang berada di kawasan Seturan menjadi seolah “kantor” penerbitan. Selain itu, Tomi pun menciptakan ruang baca bernama Rumah Kata dengan koleksi ratusan buku, majalah, hingga zine, di sudut kontrakannya tersebut. Sebelumnya, fans berat Bad Religion ini pun terlebih dahulu aktif membuat Zine yang diberi nama Salah Cetax. Bahkan, mengisi hari-harinya dengan menjadi aktifis di komunitas anak punk semasa SMP nya.
Bermodalkan iuran, WARNING mampu diproduksi hingga 1.000 ekslempar tiap edisinya dan tersebar ke 39 titik penjualan yang ada di 13 kota di Indonesia. Bahkan, sampai menjajaki negara Singapura distribusinya. Without Border adalah semboyan yang diagungkan WARNING dalam memuat segala bentuk jenis musik, film, dan isu sosial politik. Hal itu nampak di edisi perdana WARNING yang mengusung tema “Occupy Jogja”. Wawancara sakral pilihan WARNING pun sampai dijadikan buku bertajuk Questioning Everything: Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja.
Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada yang baru saja meraih gelar sarjananya 17 Februari lalu, HAI coba ngobrol santai bareng Tomi di markas WARNING beberapa waktu lalu. Penasaran? Simak baik-baik!
Ada yang nyebut sidestream sebagai aliran dan pergerakkan, menurut kamu sendiri?
Apapun yang bertentangan dengan arus utama (mainstream) itu sidestream secara sederhananya. Disebut sebagai pergerakan ya bisa, tapi kemudian kayak gini, ada beberapa band yang ‘nggak diterima’ di arus mainstream, apakah itu disebut sidestream? Lalu, ada band baru indie kemudian bermain musik seperti Wali. Apakah dia band sidestream? Enggak kan, dia tetap disebut mainstream. Jadi, lebih kepada semangatnya sih ngebedainnya. Musik yang dengan corporate (label) dengan yang independen. Kebanyakan band-band indie musiknya adalah sidestream. Jadi, nggak mesti band indie itu sidestream juga. Banyak juga kan di festival-festival, ada band indie yang memainkan musik mainstream. Jadinya sama aja kan seperti yang diamini oleh arus utama.
Kalau konteksnya Jogja, gimana sih, skena ini kemudian berkembang sampai sekarang?
Kalau ngeliat Jogja sekarang ya emang semakin banyak banget ya band-band sidestream (indie). Jogja banyak kampus, otomatis musik pun banyak menghasilkan band. Tiap tahun pasti muncul band baru. Dan kupikir Jogja salah satu kota yang menghasilkan band baru, bagus. Aku bisa kasih contoh, beberapa nama yang sekarang ini layak didengar. Kayak misal ada Agoni, Sisir Tanah, Kopi Basi. Ya, karena jogja iklimnya kreatif banget, jadi ya subur dan memang ada pola saling mendukung. Maksudnya, iklim yang ada itu saling mendukung bukan kompetisi. Jadi kayak ngeband itu maju bareng-bareng, bikin acara bareng-bareng. Ya, pada akhirnya berkembang semua. Apalagi dengan berkembangnya media sosial ini, band-band sekarang ini nggak perlu berjuang sekeras misal Shaggy Dog, Endank Soekamti dulu.
Sekarang lebih mudah. Tapi, sialnya kebanyakan band Jogja itu masih pemalu dibandingkan dengan band Jakarta dan bandung yang lebih pede ngenalin dirinya sendiri. Jadi, kalau ada kritik buat band Jogja adalah band Jogja masih banyak yang pemalu. Ya, itu sendiri bisa dilihat dari bagaimana mereka dalam bermedia sosial.. Didukung dengan pengalaman pribadiku yang tiap kali wawancara band indie Jogja, mereka cukup banyak yang merendah walaupun secara karya keren-keren semua. Mungkin itu kultur Jogja ya yang selalu rendah hati, takut di cap sombong. Ya, itu baik juga, tapi menurutku kalau untuk mengenalkan karya jadinya kurang greget.
Band-band baru indie jogja yang jarang terekpose dan keren apa aja emang sekarang? Yang menarik dari proses berkembangnya indie di Jogja apa?
Agoni, Sisir Tanah, Kopi Basi, Umar Haen, dan Summer Child. Mungkin, itu nama-nama band indie muda yang bakal meledak dihari-hari esok. Selain sekarang yang udah eksis seperti FSTVLST, Zoo, Senyawa. Selain band senior semacam Shaggy Dog, dkk.
Menurutku pribadi, yang menarik dari proses berkembangnya band indie jogja adalah iklim yang saling mendukung itu tadi. Jadi bukan kompetisi. Dan itupun masih terjadi kepada band indie senior sekelas Endank soekamti dan Shaggy Dog pun seperti itu.
Oya, satu lagi fenomena indie yang unik yang berkembang di Jogja sekarang. Kemarin WARNING juga baru wawancara. Namanya NDX AKA Familia. Itu cukup unik ya. Aku pikir dia (NDX) bisa aku klaim sebagai band indie hip-hop dangdut yang bisa mendatangkan masa terbanyak saat ini. Dibanding Iwa K bahkan (bukan dari segi kebesarannya ya!), dari segi massanya, mungkin dia (NDX) sekali main bisa mendatangkan masa jauh lebih banyak. Aku belum pernah datang langsung ke konsernya Young Lex, jadi nggak bisa bandingin.
Bahkan, sekarang ini NDX malah dikerjain, semua karyanya yang beredar di spotify, dll, mereka malah nggak tahu. Bahkan, ketika lagu NDX dicover oleh penyanyi dangdut papan atas (Rya Vallen kalau nggak salah), mereka (NDX) nggak tau apa-apa dan bahkan credit lagunya nggak ditulis. NDX membuktikan bahwa dia sukses dengan gaya khas musiknya itu sendiri dan metode download lagu mereka yang dibagikan secara gratis. Ibaratnya dilempar gitu aja dan bisa sebesar itu atau meledak. Dia (NDX) dari harga manggung sebesar 75.000 sampai sekarang nyampai 30 juta sekali manggung. Itu kan gila!
Masih ada yang salah nggak sih dengan konsep yang dibangun oleh band sidestream di skena musik Jogja?
Nah, disitu mungkin aku setuju dengan statement “band indie jogja terlalu nyaman di jogja”. Bisa dihitung jarilah band indie Jogja yang berani bikin tur. Paling Warmouth (grindcore) yang cukup rajin bikin tur. Lalu, yang terbaru kemarin ada Scandal yang bikin tur. Hmmm, bahkan sekelas FSTVLST pun ya kalau dibilang bikin tur pun jarang, hanya sebatas main diluar kota seperti Jakarta mungkin. Kalau sekelas Shaggy, Soekamti, dkk (senior) itu udah nggak usah ditanya lagi. Oya, adalagi Senyawa yang menarik. Band ini banyak dicari-cari setelah keluar negeri dan direspon media-media luar karena karyanya. Padahal dia udah lama. Zoo juga menarik!
Ada fenomena band mainstream Jogja pindah ke alur sidestream? Apa tanggapan kamu?
Mungkin satu tadi, ketika band itu sudah besar dan lebih banyak benefitnya ketika bergerak sendiri, mungkin ya dia akan memilih itu, indie. Ketika dia merasa bisa berkembang tanpa bantuan label arus utama. Misalnya, soal ketidakpuasan Sheila On 7, dia klaim bahwa dia band yang bikin Sony itu kaya (kalau saya pernah wawancara). Sehingga Sony harus dekat dengan Sheila, walaupun akhirnya malah keluar sendiri. Mungkin lebih bebas ya, walaupun bakalan ada kerja keras lagi terutama urusan distribusi (marketing).
Tapi, kupikir untuk band band besar sekelas Sheila, Shaggy, Soekamti, mereka sanggup manage atau bikin label sendiri. Dan mereka tetap bekerjasama kok atau berkolaborasi dengan industri besar untuk urusan distribusi dengan posisi bukan dibawah alias manajemen sendiri.
Dan banyak juga band indie yang nggak bisa survive, apa kira-kira faktornya?
Sulitlah berkarya di industri musik ini. Biaya produksi jauh lebih mahal dengan apa yang didapat. Kalau itung-itungan indie, band itu rugi semua. Biaya main, biaya apalah, dan lain-lain, nggak seberapa dengan bayarannya. Apalagi banyak juga organizer-organizer yang bayarannya kecil atau nggak seberapa. Oya, banyak band indie juga yang nggak berani masang harga yang jelas. Jadi kadang-kadang tuh, masih bingung nentuin berapanya. Aku sendiri menemukan beberapa band indie seperti itu. Tapi yang jelas mereka punya karya yang bagus.
Tapi, ya ada juga yang berhasil. Misal Silampukau (Surabaya), ya akhirnya mereka personilnya keluar dari kerjaan formal. Silampukau adalah salah satu contoh band indie yang manajemennya cukup bagus. Sejauh yang aku tahu bagaimana dia promosinya, bagaimana dia melakukan tur, terlepas karyanya juga masterpiece. Masih ingat tahun 2015, mereka masih harga 1-2 juta, sekarang udah 20 juta. Tapi, ya, mereka sendiri memang didukung dengan manajemen yang rapih.
Seberapa besar sih, peran komunitas buat pergerakan skena indie di Jogja?
Wah, itu justru paling berpengaruh besar. Kita coba ngeliat bukan dari yang udah besarnya kayak Kamtis, Doggies, tapi coba liat yang masih kecil-kecil. Dulu tuh, ada namanya Common People, dia kayak komunitasnya buat band-band indie pop Jogja. Lalu, ada Jogja Blues Forum (wadah musik blues indie Jogja). Nah, waktu launching album band Summer Child kemarin itu bisa sukses karena dia kuat dengan komunitasnya.
Kan gini, ketika dari komunitas, komunitas itu kan ngedukung. Dan jadi langkah awal dan modal juga buat band baru untuk dikenal khalayak. Akan lebih mudah lagi lah buat ngenalin kalau ada komunitas. Di skena metal mungkin ada Jogja Corpsegrinder misalnya yang cukup besar. Kadang komunitas itu yang dilibatkan juga. Kan, kadang band itu punya keterbatasan, nah, dengan adanya komunitas jadi mudah juga untuk dimintain bantuan. Misal ada 20 orang aja di komunitas, itu band kurang apa bisa saling ngebantu. Bahkan, kadang nih, misal butuh additional, ya teman-teman komunitas itu kadang malahan yang ngisi.
Walaupun, ada kasus unik lagi soal komunitas ini, buat band NDX tadi malah mereka sebenarnya dijauhi oleh komunitasnya. Bahkan dikucilkan awalnya. Walaupun sekarang malah akhirnya banyak komunitas mereka meniru apa yang NDX lakukan. Yang dulu ngehina, datang kerumah personilnya lalu minta maaf dan malah bikin hip hop dangdut. Maka NDX itu kasus tersendiri (unik).
Peran kita sebagai anak muda terhadap skena sidestream/ indie ini harus gimana sih?
Dateng ke konsernya sih, sesederhana itu. Selemah-lemahnya iman dulu, kita bisa nge-share dari karya gratis dari band sidestream/indie itu. Bisa dari situ, karena dengan nge-share, mampu mengenalkan ke lingkaran-lingkaran kita sendiri. Terus, kalau punya duit lebih ya, datang ke konsernya beli tiketnya atau beli CD nya. Itu aja, band-band udah senang dan hidup. Kritikanya mungkin, beberapa pendengar muda kadang nggak mau coba dengerin yang ‘baru’ mungkin. Masih nyaman yang sudah ada atau mainstream. Karena kultur yang dibangun seperti itu. Itu pengaruh dari budaya baca kita juga yang lemah. Kan, kemauan untuk menggali musik itu kurang dan berbanding lurus dengan kemauan membaca juga. Sehingga mayoritas akan menerima yang udah ada aja (mainstream).
Penulis: Rasyid Sidiq