Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Tomi Wibisono "WARNING": Band Indie Jogja Jangan Malu-malu Sebar Musik.

Rizki Ramadan - Jumat, 24 Maret 2017 | 12:30
Tomi Wibisono pendiri Warning Magazine
Rizki Ramadan

Tomi Wibisono pendiri Warning Magazine

Tahun 2012 silam, berangkat dari keinginan untuk meluapkan kegelisahan akan isu sosial politik dan musik, Tomi Wibisono bersama rekannya Soni Triantoro merintis WARNING Magazine. Sebuah media independen yang bermarkas di Kota Pelajar Yogyakarta.Berisikan kawula muda (mahasiswa) yang haus akan pengamalan akan jurnalistik, khususnya musik.

Perantau asal Balikpapan ini menyulap kontrakannya yang berada di kawasan Seturan menjadi seolah “kantor” penerbitan. Selain itu, Tomi pun menciptakan ruang baca bernama Rumah Kata dengan koleksi ratusan buku, majalah, hingga zine, di sudut kontrakannya tersebut. Sebelumnya, fans berat Bad Religion ini pun terlebih dahulu aktif membuat Zine yang diberi nama Salah Cetax. Bahkan, mengisi hari-harinya dengan menjadi aktifis di komunitas anak punk semasa SMP nya.

Bermodalkan iuran, WARNING mampu diproduksi hingga 1.000 ekslempar tiap edisinya dan tersebar ke 39 titik penjualan yang ada di 13 kota di Indonesia. Bahkan, sampai menjajaki negara Singapura distribusinya. Without Border adalah semboyan yang diagungkan WARNING dalam memuat segala bentuk jenis musik, film, dan isu sosial politik. Hal itu nampak di edisi perdana WARNING yang mengusung tema “Occupy Jogja”. Wawancara sakral pilihan WARNING pun sampai dijadikan buku bertajuk Questioning Everything: Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja.

Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada yang baru saja meraih gelar sarjananya 17 Februari lalu, HAI coba ngobrol santai bareng Tomi di markas WARNING beberapa waktu lalu. Penasaran? Simak baik-baik!

Ada yang nyebut sidestream sebagai aliran dan pergerakkan, menurut kamu sendiri?

Apapun yang bertentangan dengan arus utama (mainstream) itu sidestream secara sederhananya. Disebut sebagai pergerakan ya bisa, tapi kemudian kayak gini, ada beberapa band yang ‘nggak diterima’ di arus mainstream, apakah itu disebut sidestream? Lalu, ada band baru indie kemudian bermain musik seperti Wali. Apakah dia band sidestream? Enggak kan, dia tetap disebut mainstream. Jadi, lebih kepada semangatnya sih ngebedainnya. Musik yang dengan corporate (label) dengan yang independen. Kebanyakan band-band indie musiknya adalah sidestream. Jadi, nggak mesti band indie itu sidestream juga. Banyak juga kan di festival-festival, ada band indie yang memainkan musik mainstream. Jadinya sama aja kan seperti yang diamini oleh arus utama.

Kalau konteksnya Jogja, gimana sih, skena ini kemudian berkembang sampai sekarang?

Kalau ngeliat Jogja sekarang ya emang semakin banyak banget ya band-band sidestream (indie). Jogja banyak kampus, otomatis musik pun banyak menghasilkan band. Tiap tahun pasti muncul band baru. Dan kupikir Jogja salah satu kota yang menghasilkan band baru, bagus. Aku bisa kasih contoh, beberapa nama yang sekarang ini layak didengar. Kayak misal ada Agoni, Sisir Tanah, Kopi Basi. Ya, karena jogja iklimnya kreatif banget, jadi ya subur dan memang ada pola saling mendukung. Maksudnya, iklim yang ada itu saling mendukung bukan kompetisi. Jadi kayak ngeband itu maju bareng-bareng, bikin acara bareng-bareng. Ya, pada akhirnya berkembang semua. Apalagi dengan berkembangnya media sosial ini, band-band sekarang ini nggak perlu berjuang sekeras misal Shaggy Dog, Endank Soekamti dulu.

Sekarang lebih mudah. Tapi, sialnya kebanyakan band Jogja itu masih pemalu dibandingkan dengan band Jakarta dan bandung yang lebih pede ngenalin dirinya sendiri. Jadi, kalau ada kritik buat band Jogja adalah band Jogja masih banyak yang pemalu. Ya, itu sendiri bisa dilihat dari bagaimana mereka dalam bermedia sosial.. Didukung dengan pengalaman pribadiku yang tiap kali wawancara band indie Jogja, mereka cukup banyak yang merendah walaupun secara karya keren-keren semua. Mungkin itu kultur Jogja ya yang selalu rendah hati, takut di cap sombong. Ya, itu baik juga, tapi menurutku kalau untuk mengenalkan karya jadinya kurang greget.

Band-band baru indie jogja yang jarang terekpose dan keren apa aja emang sekarang? Yang menarik dari proses berkembangnya indie di Jogja apa?

Agoni, Sisir Tanah, Kopi Basi, Umar Haen, dan Summer Child. Mungkin, itu nama-nama band indie muda yang bakal meledak dihari-hari esok. Selain sekarang yang udah eksis seperti FSTVLST, Zoo, Senyawa. Selain band senior semacam Shaggy Dog, dkk.

Menurutku pribadi, yang menarik dari proses berkembangnya band indie jogja adalah iklim yang saling mendukung itu tadi. Jadi bukan kompetisi. Dan itupun masih terjadi kepada band indie senior sekelas Endank soekamti dan Shaggy Dog pun seperti itu.

Editor : Hai





PROMOTED CONTENT

Latest

x